VANIA terus melangkah mengikuti Vano. Gadis itu berusaha untuk positive thinking, namun sialnya laki-laki itu malah membawa Vania ke balkon.
Tempat yang sama sekali tidak Vania sukai, bahkan hampir membenci.
Ekspresi wajah Vania langsung berubah 90°. Gadis itu berusaha merapatkan punggungnya dengan dinding, seolah lantai yang dipijaknya adalah sebatang kayu. Yang jika salah melangkah, dia akan jatuh.
“Mau Kakak apa?” lirih Vania.
Sintingnya, Vano malah berdecih. Membiarkan Vania ketakutan, sedangkan dirinya berdiri sambil memegang pagar pembatas sekuat tenaga. Tatapan dinginnya lurus ke depan, kemudian dia berteriak.
“AAAAAAAA!”
Vano merentangkan tangannya, mendonggak, kemudian memejamkan mata. Membiarkan semilir angin menerpa tubuhnya.
“K-kak!”
Vano tetap diam, seolah tuli, seolah tidak mendengar panggilan dari Vania.
“Kak!”
Tetap diam.
“KAK VANO!”
Kali ini Vano menoleh, namun masih dengan posisi yang sama. Dia berucap, “Gak cape lo?” sarkasnya.
“K-kak t-tolong ....” Suara Vania terdengar gemetar. Namun Vano justru kembali menatap lurus ke depan dan memejamkan matanya.
“Masuk ke kamar aja.”
“T-takut ...,” lirih Vania.
Vano menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Laki-laki itu akhirnya menghampiri Vania, menyelipkan sejumput rambut yang menghalangi wajah cantik sang adik pada telinga, kemudian menuntun untuk duduk berdiri di sampingnya, memegang pagar pembatas.
“Terserah lo mau ngapain, asal jangan kayak tadi,” ujar Vano dengan suara seraknya ketika Vania hendak menempelkan punggung pada dinding lagi.
Vano tampak menyeret Vania. Hingga gadis itu menggenggam erat pagar pembatas yang tingginya hanya sepinggang, namun isak tangis Vania mulai terdengar. Bahunya gemetar, suhu tubuhnya semakin dingin. Dia ketakutan.
“Nangis aja sepuas lo, asal jangan cepu,” tandas Vano.
Tidak peduli dengan keadaan Vania, Vano bahkan duduk di atas pagar pembatas.
Membiarkan Vania semakin ketakutan.
Vania mengalami acrophobia atau fobia ketinggian. Penyebabnya, tentu saja karena Vano.
Satu perbuatan ceroboh yang menimbulkan banyak masalah.
Vano bingung. Vania itu pengidap alexithymia namun gadis itu dengan mudah dapat merasakan takut. Bukannya rasa ‘takut’ merupakan sebuah emosi?
Vania juga manusia yang memiliki emosi. Hanya saja, Vania kadang kebingungan bagaimana cara mengungkapkan emosi tersebut.
Hening. Hanya suara isakan Vania yang terdengar, dan mulai mengganggu indra pendengaran Vano Cassandra.
¤¤¤
An menoleh ke arah jendela, lampu kamar Zevan masih menyala, itu artinya Zevan belum tidur. Sehingga, gadis berambut sebahu itu memutuskan untuk pergi ke rumah Zevan.
Tidak peduli walau waktu sudah malam, karena Zevan pun sering begitu padanya.
Namun barusaja menuruni beberapa anak tangga, langkah An terhenti. Mendengar ucapan Ami tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...