TERLALU banyak pertanyaan yang tidak berani diutarakan. Mereka, murid Royal Class, kembali memasuki ruangan dengan beberapa pertanyaan di kepala.
Rasanya aneh ketika, Adara bukan lagi murid Royal Class. Namun mereka, tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Baru saja An membuka mulutnya, Bu Nona memasuki ruang Royal Class. Membuat An mengurungkan niatnya untuk berbicara, dan menghargai kehadiran Bu Nona selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
“Selamat pagi semuanya!” sapa Bu Nona.
“Pagi, Bu!” balas murid Royal Class serempak.
Bu Nona, wanita itu tersenyum anggun. “Bagaimana keadaan kalian, baik?” tanyanya.
Hening beberapa saat, hingga Rigel berucap. “Tentu saja baik, Bu!” Dan setelahnya, murid lain ikut menyahut dengan jawaban yang berbeda.
“Semoga baik, Bu.” Itu yang diucapkan oleh Aletta.
“Baik.” Muthia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semoga itu adalah doa untuk hari ini.”
Bu Nona masih mempertahankan senyumnya. “Bagus kalau begitu.” Jeda. “Dikarenakan semua materi kelas dua belas sudah ibu sampaikan, terkhusus murid Royal Class. Dan sepertinya, kalian sudah memahami materi yang telah saya sampaikan. Bagaimana jika, sekarang kita bernostalgia?” tuturnya.
“Bernostalgia?” ulang Arabela dibalas anggukan oleh Bu Nona.
“Iya. Mengingat materi yang telah dipelajari, mungkin dari kelas sebelas, sepuluh, atau bahkan kelas sembilan.”
Rigel tiba-tiba mengacungkan tangan. “Bu, Bu! Gimana kalau kita bernostalgia ke kelas sembilan aja? Materi teks diskusi.”
“Maksud lo, sekarang kita diskusi?” tebak Aletta dibalas anggukan semangat oleh Rigel.
“Bu Nona yang baik hati dan budiman, jarang-jarang loh kita debat.” Rigel berusaha merayu Bu Nona untuk menyetujui saran darinya.
“Baiklah,” putus Bu Nona membuat Rigel bersorak.
“Kalian dibagi menjadi dua tim, tim pro dan tim kontra,” kata Bu Nona sambil menuliskan nama-nama murid Royal Class di papan tulis.
Bu Nona membagi sesukanya.
Tim 1
1. Alettania
2. Meteor
3. Muthiara
4. Rigel
5. VaniaTim 2
1. Anindya
2. Arabela
3. Dinda
4. Vano
5. Zevan“Salah satu di kedua tim tersebut dipersilakan suit, kertas gunting batu, atau apa pun terserah kalian. Tim yang menang dipersilakan memilih tema dan menentukan ingin pro atau kontra,” jelas Bu Nona.
Tanpa berlama-lama akhirnya An dan Aletta yang menjadi perwakilan. “Tiga kali, ya, Al,” ucapnya. Aletta hanya mengiyakan.
Satu, dua, tiga.
“Anjir tangan gue gak hoki.” An menatap tangannya tidak habis pikir.
Aletta tersenyum miring, setelahnya mulai berdiskusi dengan teman satu tim untuk menentukan tema. Tanpa menghabiskan banyak waktu, mereka sudah menentukan tema.
“Baik, dipersilakan untuk mengutarakan tema dan stimulus atau rangsangannya,” titah Bu Nona.
Aletta mengangguk, dan berdiri guna memperjelas kalau dirinya berbicara. “Temanya yaitu strict parents, atau orang tua yang ketat dan menempatkan standar serta tuntutan tinggi pada anak-anak mereka.” Aletta mengedarkan pandangannya. “Perlu diketahui bahwa, sedikit-banyak terdapat orang tua yang mengekang anaknya terlalu berlebihan. Melarang ini-itu, dan memaksa untuk melakukan ini dan itu. Hal tersebut bisa menyebabkan anak menjadi stres atau bahkan depresi. Contoh sederhananya, memaksa sang anak supaya mendapat nilai yang memuaskan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...