RIGEL melompat kegirangan, Zevan dan An tertawa bangga, beberapa tersenyum simpul, dan sisanya hanya diam.
“Sumpah, gak nyangka kita bisa sekeren itu!” sorak An di sela-sela tawanya.
“Besok tinggal final basket, bela diri, sama ... pengumuman juara?” celetuk Arabela.
An berdecak. “Gue masuk final gak, sih?”
“Jangan, An. Lo mau babak belur lagi?” kata Zevan, tangannya bergerak memeluk An seolah ingin melindungi gadis itu. Sialnya An langsung mendorong tubuh Zevan disertai tatapan jijik.
“Jangan apaan! Gue aja gak tau masuk final apa enggak,” dampratnya.
Zevan mengacak-acak rambut An gemas, membuat beberapa orang di antara mereka memutar bola mata malas.
“Besok gue gak ikut final. Sama kalian aja, tapi jangan sama Muthia,” ucap Adara tiba-tiba.
Vano mengangguk setuju, namun sisanya terheran-heran. “Loh kok gitu, Ra? Kita itu, ‘kan, tidak pandai bermain basket. Kamu kenapa ngundurin diri gitu? Bukannya sesuai perjanjian, jangan ada yang—”
Adara menyela, “Beda lagi urusannya.” Gadis itu memasang wajah datar, dan menoleh pada Dinda dan Aletta. “Gantiin sama Dinda atau Aletta aja.”
Belum sempat protes, Adara langsung keluar dari ruang Royal Class dengan wajah angkuhnya.
¤¤¤
“APA LAGI, SIH, ANJING?!”
Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak beraturan, wajahnya yang memerah, juga tatapan intimidasi yang terpancar dari matanya.
Vano berusaha untuk tidak terbawa emosi. Dia tidak tersenyum dan tidak juga memasang ekspresi wajah kesal, karena ekspresi wajahnya tetap datar seolah tidak peduli dengan perlakuan lawan bicara. “Dengerin gue ...,” ucapnya dengan nada serendah mungkin.
Sang lawan bicara tidak menyahut, justru dia memalingkan wajahnya. Rupanya, dia kehilangan kesabaran.
“Tolong jangan sakitin diri lo sendiri.” Tangan Vano bergerak meraih pipi gadis itu, meminta supaya menatap matanya.
Gadis itu menuruti, namun dengan tatapan tajam. Berakhir, tanpa aba-aba dia langsung menonjok pipi kiri Vano.
Memejamkan mata sejenak, ketika gadis itu membalikkan badan dan meninggalkannya. Vano menyentuh rahangnya yang terasa ngilu, namun dia tetap berteriak, “JANGAN PENDAM SEMUANYA SENDIRI!”
Gadis itu menghentikan langkahnya, membuat Vano diam-diam mengulum senyum. “Gue sayang lo.”
Setelah mengatakan itu, justru Vano membalikkan badan dan berjalan meninggakan gadis itu. Meninggalkan gadis yang tengah bergelut dengan dirinya sendiri, dengan segala pikiran sialan yang membuat dia tidak bisa berpikir jernih.
“Gue sayang lo.”
“Gue suka sama lo.”
“Sialan!” umpatnya.
Gadis itu mengacak rambutnya frustrasi, setelahnya dia duduk bersandar dinding dengan lutut yang ditekuk, kemudian dia memeluk lututnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...