..---/..---

2.8K 541 51
                                    

TRING!

Vania tidak memperdulikan ponselnya yang berbunyi. Gadis itu memilih untuk menatap hati-hati sang kakak yang duduk di kursi kemudi. Vano fokus mengendarai tanpa berbicara satu patah kata pun semenjak mereka memasuki mobil.

“Kak?” panggilnya ragu.

Vano bergeming, tatapan laki-laki itu masih lurus ke depan.

“Berhenti dulu di Alfamaret, dong, Kak. Aku mau beli camilan,” pintanya setelah berfikir beberapa kali.

Tidak ada jawaban dari Vano, tapi laki-laki itu menghentikan mobil tepat di seberang Alfamaret.

Vania refleks tersenyum. “Kak—”

“Cepetan.”

Vania menghembuskan napas pasrah. Gadis itu keluar dari mobil, dan berniat menyebrang.

“Hati-hati.” Itu suara Vano yang terdengar samar di telinga Vania.

Vania tidak tahu ketika dia telah benar-benar keluar dari mobil, ada satu notifikasi pesan masuk pada ponsel Vano. Tetapi laki-laki itu justru mengambil ponsel Vania yang juga menampilkan satu pesan masuk.

Pesan itu sama.

A4RV2DM2Z
|Your next.

TID, TID, TID!

Vano menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara nyaring klakson motor. Tubuh laki-laki itu mematung ketika matanya melihat dengan jelas bagaimana tubuh Vania terserempet oleh motor itu.

Dia mengerjap, turun dari mobil dan segera menolong adik kembarnya.

¤¤¤

Malam minggu rasanya tidak seindah ekspetasi. Tidak seperti remaja kebanyakan yang bermalam mingguan bersama pasangannya.

Malam ini, Vano justru menunggu Vania yang terkulai lemas di atas brankar. Luka di sebelah tubuh gadis itu sudah diobati, hanya menunggu adiknya terbangun.

Vano meraih tangan adik kembarnya, kemudian menggenggam tangan itu. “Maaf, Van. Maaf gue belum bisa jadi kakak yang baik.”

“Van—”

Klek!

Pintu ruangan bernuansa putih itu terbuka, membuat Vano menghentikan ucapannya. Terlihat, Cassandra dan Vina memasuki ruangan dengan wajah khawatir.

Detik ketika orang tuanya masuk, Vania membuka matanya dan meringis pelan. Merasakan rasa sakit karena pipinya tergores aspal.

“Kamu gapapa, Nak?” tanya Vina sambil berjalan cepat menghampiri Vania. Bahkan Vano berinisiatif berdiri dari duduknya, memberi tempat kepada Vina untuk duduk di kursi.

Vania tersenyum tipis. “Gapapa, Bund,” balasnya pelan.

Cassandra langsung menatap tajam Vano yang menundukkan kepalanya takut-takut. “Ini ulah kamu, iya?!” todongnya.

Mata Vania refleks membola. “Bukan, Pah. Ta-tadi Vania yang cerob—”

Vano tahu, bahwa panggilan kepada Cassandra antara dirinya dan Vania itu berbeda. Jika Vano memanggil ‘Papi’, Vania memanggilnya ‘Papah’.

“Kamu mau membunuh adik kembarmu untuk kedua kalinya?!” bentak Cassandra, tentu saja menyela ucapan Vania.

Vano terhenyak. “Aku—”

“DIAM! DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!”

Vania meneteskan air matanya, membuat Vina langsung merengkuh tubuh putrinya penuh kasih. “B-bun-da ... b-buk-an Ka-k-kak y-ya-ng sal-lah ...,” ucap Vania sambil terisak.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang