MUTHIA menunduk, menatap amplop coklat yang beberapa menit yang lalu diberikan oleh Dinda untuknya.
Sebagai ganti, karena kemarin tidak bekerja dan memilih menginap di rumah Adara.Tadi pagi-pagi buta mereka pulang dari rumah Adara, setelah Adara kembali. Semalam Adara menghilang tiba-tiba dengan keadaan semua pintu keluar dikunci.
Aneh? Iya. Namun rupanya salah satu dari antara mereka tahu ke mana Adara pergi.
Lupakan soal Adara, mari fokus pada Muthia yang kini sedang mengenakan hijab persegi yang berwarna putih di kepalanya.
Muthia menatap cermin dan tersenyum manis. “Mimpi apa Muthi tiba-tiba dapat uang banyak tanpa kerja?” monolognya, matanya kembali melirik amplop coklat tadi.
Dinda memberikannya uang sebesar 5 juta secara cuma-cuma, padahal Muthia setiap hari paling cuma dapat uang sebanyak 500 ribu.
Jadi orang kaya itu enak gak, ya?
Muthia mengambil tas juga amplop coklat, kemudian keluar dari kamar. “Selamat pagi, Nek!” sapanya pada seorang wanita paruh baya yang diketahui adalah Neneknya.
Selama ini, Muthia hanya tinggal bersama Neneknya.
Wanita paruh baya itu tersenyum dengan gigi yang sudah ompong semua. “Pagi juga anak kesayangan Nenek,” balasnya.
Muthia tersenyum, dia menyerahkan amplop coklat tadi kepada sang Nenek. “Nek, ini Muthi dapat rezeki buat Nenek.”
Nenek itu menatap amplop beberapa detik, mengambilnya kemudia melihat isinya. Wanita paruh baya itu tampak terkejut, dia menyerahkan amplop itu kembali pada Muthia. “Kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, cu?” tanyanya sedikit belepotan karena keadaan semua gigi yang sudah tidak ada.
“Muthi ... dikasih sama temen Muthi, Nek. Itu halal kok, beneran gak boong!” Gadis berhijab itu kembali menyodorkan amplop. “Ini buat Nenek, terima aja, ya? Muthi tadi cuma ambil lima ratus ribu, gapapa kan, Nek?”
Nenek tidak menjawab, dia malah menarik Muthia ke dalam pelukannya. “Ne-nenek?” Muthia memastikan bahwa Neneknya baik-baik saja.
Melepaskan pelukan dengan mata yang kini sudah basah, Nenek tersenyum. “Nenek terima uangnya, tapi Nenek kasih lagi ke kamu untuk kebutuhan sehari-hari.”
Muthia tidak merespon apapun ketika tangan Neneknya bergerak membenarkan hijab Muthia.
“Berangkat sekolah sana, udah siang.”
“Eh, iya Nek.” Muthia tersenyum hingga giginya terlihat. Gadis itu menyalami sang Nenek dan mencium pipi wanita itu. “Assalamualaikum, Nek!”
Muthia mau tidak mau berjalan keluar dari rumah kecil itu.
“Waalaikumussalam, hati-hati anak baik.”
¤¤¤
Belum ada apa pun yang terjadi pada Dinda. Dinda mengernyit heran. Dia berjanji jika selama dua hari tidak terjadi apa-apa, berarti dia akan melupakan tentang semua hipotesis yang dibuatnya dan beranggapan bahwa mereka hanya iseng.
Saat ini Dinda sedang berada di perpustakaan khusus murid Royal Class, sendiri. Gadis itu memilih untuk tidak masuk kelas XII E, menurutnya murid kelas XII E sangat menyebalkan.
Bukan buku yang dia tatap, namun seperti biasa layar laptop yang mengambil alih perhatiannya. Kali ini dia memakai kacamata guna mengurangi radiasi pada matanya.
Bukan sedang meretas, Dinda tidak seceroboh itu untuk melakukan hal ilegal di ruang umum. Saat ini dia sedang menulis cerita di wattpad.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...