ARABELA merasakan sesuatu yang dingin memeluk tubuhnya. Waktu terasa berjalan lambat ketika Arabela menyadari bahwa Meteor memeluknya dengan keadaan basah kuyup.
Bahu laki-laki itu tampak bergetar.
Perlahan, Arabela membalas pelukannya. Memberikan sebuah kehangatan untuk tubuh yang merasa kedingingan itu. “Selamat, ya. Kamu menang,” bisik Arabela dengan senyum manis yang tercetak di bibirnya.
Tidak ada sahutan dari Meteor. Namun Arabela dapat merasakan jika bahu laki-laki itu sudah tidak bergetar, dan napasnya terdengar beraturan. “Kamu gak papa?”
Meteor melepaskan pelukannya dan tersenyum. “Maaf, baju lo jadi basah,” katanya.
Arabela terkekeh. “Gapapa.”
“EKHEM, EKHEM! INI TEMPAT UMUM SODARA-SODARA, DILARANG UWU!”
“Kalau iri, bilang aja An,” bisik Zevan pada telinga An, disertai tawa mengejek.
An memutar bola matanya ketika Meteor dan Arabela ikut tertawa.
“Dih apaan iri sama cinta beda keyakinan. Bahagia kagak, sakit hati iya.”
Seperti ... ditampar oleh kenyataan.
¤¤¤
Dinda menghembuskan napasnya. Gadis itu berusaha mengingat berbagai macam kosa kata. Berusaha untuk memenangkan debat.
Debat tiga bahasa.
Dinda mendengkus ketika lawan bicara memotong ucapannya.
“Apakah sopan ketika Anda memotong sebuah pendapat?” sarkasnya, membuat lawan bicara yang diketahui sebagai perwakilan kelas XII D itu bungkam.
Ah, Dinda jadi mengingat Adara yang suka memotong ucapan orang lain. Bagaimana jika, Adara yang mewakili Royal Class mengikuti lomba ini?
Suasana di dalam ruangan ini semakin panas ketika mereka kembali berdebat. Kali ini menggunakan bahasa Jerman.
Dinda berusaha mengatur emosinya, karena debat ini benar-benar harus dilakukan dengan kepala dingin.
Banyak yang pusing mendengar segala yang diucapkan.
Bukan. Bukan pusing karena pendapat, fakta, maupun argumen mereka terdengar membingungkan. Namun pusing karena tidak mengerti bahasa yang mereka ucapkan.
Hehe, peace.
Tet!
Bel berbunyi membuat mereka langsung mengantupkan mulut. Waktu habis, namun belum ada pemenang.
¤¤¤
Sebenarnya malas sekali Adara mewakili Royal Class dalam perlombaan menulis cerpen.
Jujur saja dirinya lebih pandai menulis novel daripada cerpen. Alur di pikirannya begitu panjang sehingga tidak cukup jika hanya ditulis dalam bentuk cerpen.
Ada yang sama seperti Adara? Ada, penulis cerita ini.
Adara berdecak. Dia menatap rentetan kata pada layar komputer di hadapannya.
Ketentuan lomba menulis cerpen sekarang itu, maksimal 1000 kata, sedangkan dirinya bahkan sudah menulis ±2000 kata. Ini sangat tidak lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...