--.../.----

2.2K 411 45
                                    

ARABELA tidak tahu mengapa dirinya nakal dan terus melakukan sesuatu hal yang dilarang oleh ayahnya. Termasuk mengunjungi galeri lukis dan melukis di sana selama berjam-jam, hingga kini sudah larut malam.

Yang jelas, ini adalah satu-satunya cara Arabela untuk menyalurkan emosi.

“Bel, sudah selesai belum melukisnya?” tanya Pak Kailan, pemilik galeri.

“Kalau disuruh berhenti, ya, selesai. Kalau enggak, ya, lukis terus sampai yang lukis bingung lagi ngelukis apaan,” jawab Arabela disertai kekehannya. “Eh canda, Pak. Udah selesai kok, ini aku mau pulang,” katanya kemudian.

Pak Kailan mengulas senyum. “Padahal kalau masih mau melukis gapapa.”

Arabela yang sedang merapikan alat melukisnya langsung menggeleng. “Enggak perlu, Pak. Nanti Papi marah gimana hayo?”

Kali ini Pak Kailan tertawa renyah. Keduanya berjalan keluar galeri dan Arabela pamit pulang.

“Yasudah, Pak. Makasih banyak untuk hari ini, dan sampai jumpa!” seru Arabela dengan senyum lebar, dibalas anggukan dari Pak Kailan.

Arabela membalikan badannya, dan senyum itu hilang dalam hitungan detik. Gadis itu menghembuskan napas panjang, dan berjalan di trotoar sambil menendang angin. Berharap, seperti biasa Meteor datang kemudian mengantarkannya pulang.

Namun sudah lima belas menit Arabela menunggu, tidak ada tanda-tanda kedatangan Meteor atau sekedar melewat saja.

Arabela mengecek ponsel, kemudian berdecak. Ponselnya mati sehingga tidak bisa memesan ojek online atau sejenisnya. Ditambah, ini bukan jalan raya. Menyebabkan jalan ini tidak dilewati oleh kendaraan umum.

Namun baru saja memutuskan untuk berjalan, sebuah motor sport berhenti di sampingnya.

“Met—eh Rigel?”

Sang pengendara motor yang ternyata adalah Rigel menyugar rambutnya. “Mau ke mana lo? Gak baik cewek jalan sendirian malem-malem.”

“Aku abis dari galeri, mau pesan ojol tapi ponselnya mati,” jawab Arabela seadanya. “Terus kamu ... mau ke mana?”

Rigel menunjuk dirinya sendiri. “Gue? Gue mau balik, tadi nyokap minta beliin boba malem-malem. Tapi bobanya pengen yang ada di deket taman samping gedung olahraga Sanjaya Group, gak mau yang lain. Pusing dah, kayak yang lagi ngidam aja,” celotehnya sedikit kesal.

“Oooh,” sahut Arabela. “A-aku ... boleh minta anterin pulang gak?” tanya Arabela hati-hati dengan kepala yang tertunduk karena malu.

Rigel malah tertawa, tangannya bergerak menepuk puncak kepala Arabela sekali. “Gemes banget, sih, lo. Buru naik, mumpung lagi baik nih gue.”

Arabela sontak melebarkan senyumnya dan menaiki motor Rigel. Lalu mereka melesat pergi menuju rumah Arabela yang tentunya dengan petunjuk sang pemikuk rumah, karena Rigel tidak tahu di mana letak rumah gadis itu.

“Di sini?”

“Iya.” Arabela turun dari motor dan bertanya, “Mau mampir dulu gak?”

Basa basi.

Rigel tampak berpikir sejenak, dan bodohnya malah mengangguk. “Boleh, deh.”

Arabela melotot, namun dengan cepat menormalkan mimik wajahnya. Padahal tadi Arabela hanya basa basi sebagai ucapan terima kasih, tapi Rigel malah mau mampir. Mati sudah, Rigel akan tahu semuanya.

Arabela hendak menyentuh knop pintu, namun pintu sudah terbuka dari dalam terlebih dahulu, membuat Arabela kembali menarik tangannya.

Tubuh tegap Albert terlihat berdiri di ambang pintu. Alih-alih untuk masuk ke dalam rumah dengan damai, Arabela malah ditarik kasar ke dalam rumah oleh pria itu.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang