ADA beberapa hal aneh yang sulit dicerna melalui logika. Salah satunya mungkin ... kehadiran Kaisar.
Adara tidak tahu jika, laki-laki itu menjabat sebagai wakil ketua OSIS karena selama ini dia memang benar-benar tidak peduli dengan lingkungan. Apalagi yang sudah menghilang beberapa bulan, tentu saja terlupakan.
Adara melirik Kaisar yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu memutar bola mata, lalu mengisyaratkan kepadanya supaya tidak mengikuti.
Saat ini, Adara hendak memasuki ruang kepala sekolah.
Sempat menolak dan tetap ingin ikut, namun akhirnya Kaisar mengalah dan menunggu di luar. Entahlah, akhir-akhir ini dia selalu mengikuti Adara.
Ceklek.
Pintu terbuka dan Adara langsung masuk ke dalam ruangan. Gadis itu mengumpat dalam hati ketika mendapati dua pria di hadapannya. Hugo dan Antonio.
"Ada perlu apa memanggil saya?" tanyanya to the point. Sedikit tidak sopan, memang.
Adara menghembuskan napas kasar ketika Antonio mulai berbicara, di susul oleh Hugo yang berbicara juga tersenyum lembut ke arahnya. Sialnya, senyum itu Adara anggap sebagai pencitraan.
Adara tidak mendengarkan ucapan mereka dengan benar, dan kali ini Adara menyela, "Bapak memanggil saya hanya untuk hal ini?"
Antonio tampak memejamkan mata untuk sejenak, pria itu menoleh ke arah Hugo yang kini tidak bisa mempertahankan senyumnya.
Adara memutar bola mata malas. "Saya pam-"
"Tidak. Saya memintamu untuk membantu Wildan untuk menjadi panitia festival." Pak Antonio yang berbicara.
"Wildan?" ulang Adara.
"Ketua OSIS, kamu tahu?"
"O-oh, iya." Adara menganggukkan kepalanya, urusan siapa itu Wildan nanti dia akan bertanya. Yang penting, sekarang dia ingin segera pergi dari ruangan ini.
Tangan Hugo tiba-tiba bergerak hendak menyentuh pundak Adara, namun gadis itu menjauh. "Semangat, Nak," katanya.
Adara tidak menjawab, gadis itu langsung berdiri dari duduknya dan melangkah keluar ruangan. "Sudah, 'kan? Lain kali jika hendak memanggil saya, jangan sungkan untuk memanggil lewat speaker pemberitahuan."
¤¤¤
"Kenapa lo ke sekolah? Bukannya ... lo masih masa skorsing?"
Aletta mendengkus. "Kalau iri bilang aja."
Dinda menghembuskan napas kasar. Setelah kepergian Adara tadi, Aletta malah memposisikan tubuhnya untuk duduk di depan Dinda tanpa berbicara apa pun. Dinda pikir, gitaris itu akan pergi namun ternyata tidak.
Dinda menutup laptopnya. Baru saja dia hendak berdiri, ujung matanya melihat sampul novel yang sedang dibaca oleh Aletta. "Seru gak?"
Aletta malah menutup novel tersebut dan menatap cover novel. "Lumayan. Tapi isinya sedikit berantakan dan, banyak plot hole."
Dinda menatap datar novel itu. "Karya Adara, katanya."
Aletta mengangkat sebelah alis, mengingat pembicaraan Dinda dan Adara beberapa menit lalu. "Lo udah baca?" tanya Aletta sambil menunjukkan judul buku novel itu.
See?
Dinda mengedikkan bahunya ringan. "Belum, hanya sempat membaca beberapa paragraf di halaman awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...