----./.....

2.3K 445 91
                                    

TIDAK habis pikir mengapa dari semua materi Seni Budaya, melukislah yang dilakukan sebagai ujian praktik.

Dinda menatap kanvas dengan datar. Dinda benar-benar tidak pandai melukis. Namun kali ini, untuk kepentingan nilai, Dinda akan berusaha sebisanya. Namun—

“Silakan lukis apa pun yang terbayang di pikiran kalian. Kalian punya waktu dua puluh menit dari sekarang!”

—semangat Dinda hilang begitu saja ketika mendengar perintah tersebut. Dinda mengangkat tangan hendak bertanya, namun guru di depan kembali berbicara, “Minimal satu objek, ya. Jangan mentang-mentang pikiran kalian kosong, kalian biarkan kanvas itu kosong.”

“Iya, ada apa?” tanyanya pada Dinda.

Dinda sontak menggeleng, pertanyaannya sudah terjawab beberapa detik lalu. “Tidak jadi, Bu,” sahutnya.

“Baik kalau begitu. Mulai melukis sekarang juga, jangan buang-buang waktu! Ingat, hanya dua puluh menit!” tegasnya.

Dinda berdecak, dan mengambil kuas yang sudah tersedia. Bisa tidak, sih, guru di depan bersikap lembut seperi Bu Sunny?

Di sisi yang berbeda, namun pada ruangan yang sama. Arabela dengan cepat terpikir apa yang akan dia lukis. Gadis itu sudah menbuat sketsa, bahkan sudah mencoretkan kuas pada kanvas dengan begitu telaten.

Melukis dua tangan yang tidak bisa saling menggenggam, mengisahkan tentang dua hati yang tidak bisa bersama. Tentang cintanya yang pupus karena ingat bahwa keduanya berbeda. Sintingnya, Arabela sulit untuk melupakan laki-laki itu padahal si laki-laki sudah bersama yang lain.

Arabela bahkan, menitikan air mata. Dengan cepat gadis itu mengusap pipinya dengan punggung tangan, dan melanjutkan melukis.

Guru yang menjadi panitia pada ujian praktik di hari terakhir ini berkeliling, melihat murid yang berkutat dengan alat lukis. Nyaris seperti ketika melukis bersama Bu Sunny waktu itu, sang guru tadi menghentikan langkahnya di belakang Rigel.

“Kamu ini menggambar apa?” tanyanya langsung.

Dan sintingnya, Rigel malah mengedikkan bahu. Karena laki-laki itu baru saja membuat kuas menyentuh permukaan kanvas. Satu titik, di ujung paling atas.

“Titik juga termasuk objek gak, sih, Bu?” selorohnya, nyaris membuat murid lain menoleh ke arahnya. Untung saja mereka, masih mengingat jika waktu yang mereka punya hanya sedikit.

Menghembuskan napas, wanita itu bersidekap dada. “Seharusnya termasuk, tapi tidak untukmu kali ini. Itu titiknya terlalu kecil, di ujung lagi. Buatlah lukisan yang bagus seperti temanmu yang lain. Kamu mau dapat nilai jelek, heh?” oceh guru tersebut. Untung saja langsung melangkah ke belakang murid lain tanpa menunggu Rigel menyahut.

Rigel menatap kanvas beberapa detik, kemudian netranya beralih pada jam dinding—jam tangan kuno miliknya dirusak oleh Adara bahkan dibakar, katanya supaya hantu tidak mengikuti jam tangan itu lagi.

Tersisa waktu beberapa menit, dan Rigel baru menitikkan cat pada kanvas. Setelah menimbang-nimbang, Rigel mulai melukis. Kali ini lebih serius daripada sebelumnya.

Hingga waktu, habis.

Semua murid mengumpulkan lukisan pada detik itu juga. Namun ketika Rigel menyerahkan lukisannya, guru yang tadi mengoceh itu langsung berkomentar, “Ini kamu melukis apa apa menggambar? Objeknya apa?”

 Namun ketika Rigel menyerahkan lukisannya, guru yang tadi mengoceh itu langsung berkomentar, “Ini kamu melukis apa apa menggambar? Objeknya apa?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang