AN mulai membuka mata. Tangannya meraih benda pipih yang semalam dia simpan di atas nakas; ponsel.
Waktu menunjukan pukul 07.45.
Mata An terbuka sempurna, gadis berambut sebahu itu beringsut duduk dan mengucek matanya. Sehabis salat subuh tadi, An tidur lagi karena semalam begadang untuk bermain ludo bersama Zevan.
Tunggu, Zevan?
An berjalan untuk membuka gorden, kemudian menuju balkon. Niatnya dia akan berteriak memanggil Zevan di seberang sana, tetapi An malah melihat mobil panjero hitam yang memasuki pekarangan rumahnya.
An menebak, jika di dalam mobil itu ada Ami dan juga Hugo.
An kembali memasuki kamar, dia bergegas untuk mandi dan berpakaian. Setelahnya, dia menuju ruang tamu. Tentu saja langsung disuguhi oleh pemandangan—
“Pagi, Mah, Pi.”
“Pagi anak kesayangan Mamah.”
An memaksakan senyumnya. Hanya di depan Hugo, Ami akan bersikap lembut kepadanya.
Hanya di depan Hugo.
An lupa, kapan Ami memanggilnya dengan suara selembut itu ketika tidak ada Hugo.
An menghampiri orang tuanya lalu duduk di sofa yang bersebrangan dengan sofa yang mereka duduki.
“Apa kabar, Nak?” Itu pertanyaan dari Hugo.
“Baik.” An menghembuskan napas. “Teman sekolahku akan ke sini untuk membahas acara yang diadakan oleh sekolah. Gapapa?”
Ami tersenyum hangat. “Gapapa, Sayang.”
“Adara ikut ke sini?”
An langsung menatap ke arah Hugo. “Ikut, Pi. Kenapa?”
Hugo tersenyum samar. “Gapapa,” katanya, dibalas senyum kikuk dari An.
TOK TOK TOK!
“AN, YUHUU! PANGERAN ZEVAN DATANG!”
Mereka langsung menoleh ke arah pintu. “Kayaknya temen aku sebentar lagi sampai, deh. Mamah sama Papi—”
TOK, TOK, TOK!
“AN BANGUN WOI! UDAH SIANG INI!”
“Papi sama Mamahmu pergi ke belakang saja.” Seolah mengerti apa yang ada di fikiran An, Hugo mengajak Ami untuk pergi ke taman belakang.
An menyunggingkan senyumnya. Gadis itu langsung berlari ke arah pintu. “ZEV—” Ucapan An terhenti ketika Zevan tanpa izin langsung memasuki rumahnya sambil menenteng satu mangkuk mie instan.
“An, minta nasi dong. Bonyok gue ternyata lembur jadi gue minta nasi di rumah lo, ya?” selorohnya sambil berjalan menuju dapur.
Mulut An terbuka beberapa centi. Gadis itu bingung bagaimana lagi cara menyikapi tingkah Zevan yang kelewat absurd.
An mengerjap, gadis itu mengejar Zevan menuju dapur. “Gue juga belum makan, kampret!” dampratnya.
“An nasinya—”
An memutar bola mata malas. “Dih, gue belum masak nasi kali.”
Zevan nyengir, laki-laki itu duduk di kursi meja makan setelah menyimpan mangkuk mie di meja makan. “Mau gak, An?” Dengan mudahnya dia menawari An yang kini menatap sengit ke arahnya.
Zevan mengaduk-aduk mie seraya berucap, “Bonyok lo ada, An? Tadi gue liat mobil Pak Hugo di depan.” Laki-laki itu tampak mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...