KALIAN tahu bagaimana kerupuk ketika disiram air? Lembek.
Seperti seseorang yang berani membicarakan orang lain dari belakang, tetapi ketika ditemui oleh orang yang dibicarakan nyalinya menciut. Keberaniannya hilang dalam sekejap.
Mungkin begitu.
Tapi sayangnya hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kejadian beberapa jam yang lalu. Di mana dua-duanya sama-sama keras dan tidak akan ada yang menjadi lemah apalagi lembek.
Keras kepala, dan ingin menang sendiri.
Adara berdecak. Dia menatap angkasa yang gelap tanpa dihiasi bulan maupun bintang. Kosong. Seperti hatinya.
Yang ada hanya hantu yang berlalu lalang, dan mengajaknya berbicara. Namun tidak ada satupun yang mendapat sahutan dari gadis berambut panjang dengan memiliki tinggi 173 cm ini.
Dia terlalu larut, pada kejadian tadi yang masih membekas. Sangat. Bahkan mungkin tidak akan terlupakan. Sampai kapan pun.
Hingga suara gerimis hujan pun, tidak terdengar. Padahal di sini sunyi.
Ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kedekatan seorang ayah dengan adik tirinya, hatinya sakit seolah ditusuk seribu belati. Ketika ayahnya lebih peduli terhadap An yang mendapat luka fisik seringan itu saja sampai dijenguk bahkan disuapi.
Apa kabar dengan dirinya yang telah lama mendapat luka parah namun tidak pernah dijenguk?
“Ara, tunggu ayah!”
Adara menghentikan langkahnya, tepat di parkiran rumah sakit. Namun gadis itu enggan membalikkan badan menatap pria yang diketahui adalah ayah kandungnya.
“Sampai kapan kamu seperti ini, Ara?”
Panggilan itu. Panggilan yang selama ini Adara rindukan.
“Sampai Ayah menyadari kesalahan yang Ayah perbuat. Dan meminta maaf. Benar-benar minta maaf, tanpa ada pembelaan apa pun.” Terdengar tegas, seperti penekanan. Walaupun hati Adara bergetar mengucapkannya.
Hening beberapa saat. Hingga satu langkah Adara menjauh, Hugo kembali berucap, “Kemarin ayah datang kerumahmu.”
Adara menghentikan langkahnya, tertawa hambar, masih membelakangi sang ayah. “Bahkan Ayah tidak tahu kapan putrinya ada di rumah.”
Pria itu meringis pelan mendengar penuturan putrinya. Benar. Sudah terlalu jauh jarak di antara mereka berdua hingga sulit rasanya walau sekedar mendekat.
Adara berusaha mengatur deru napasnya.
Kemarin, ketika Adara pulang sekolah, tepat di gerbang utama Blue High School. Satpam di rumahnya memberi kabar bahwa ayahnya datang ke rumah, tetapi Adara belum pulang sekolah. Detik itu juga, Adara tersenyum tipis karena setiap pertemuan dengan sang ayah selalu tidak baik-baik saja. Jadi Adara memilih tidak bertemu sama sekali.
Kecuali pertemuan di sekolah. Selalu seperti orang yang tidak saling mengenal.
Selalu begitu.
“Ar—”
“Ayah tidak benar-benar mengenal siapa aku.” Kali ini Adara membalikkan badan. “Yang Ayah tahu, aku hanyalah gadis lemah yang lima tahun lalu kehilangan ibunya.” Tatapan intimidasi itu menyorot ke arah ayahnya.
Hugo tertegun. Tatapan itu sama, seperti tatapan almarhumah istrinya.
Hugo mendekat satu langkah, berusaha menggapai putrinya. Namun Adara mundur satu langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...