....-/.....

2.3K 456 53
                                    

TIDAK ada yang tahu bagaimana kacaunya Muthia di dalam ruang cipta puisi, karena semua murid Royal Class tidak menjadi saksi perjuangannya. Mereka malah berada di Ruang Royal Class sambil bermain Truth or Dare.

Jika bertanya bermain ToD saran siapa, maka jawabannya adalah Rigel. Laki-laki itu tidak mau jika, mereka berada di satu ruangan namun hanya saling diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.

An memutar botol yang disimpan di tengah lingkaran yang mereka buat. Hingga botol itu berhenti dan bagian tutup botolnya mengarah pada Adara.

Belum sempat An bertanya, Adara lebih dulu berkata, “Truth.

An mencebik, padahal dia berharap Adara memilih dare. “Oke, gue kasih yang sederhana. Lo sayang gak sama gue, sebagai adik tiri lo?”

Ada keheningan ketika Adara sedang meminang-minang jawaban. Semua mata tertuju pada gadis itu menandakan bahwa mereka menunggu jawaban Adara. Hingga akhirnya hembusan napas terdengar. “Sayang, tapi bukan sebagai kakak tiri lo,” tandasnya.

“Lah terus sebagai ap—”

“Lanjut!” sela Adara dengan tangan yang bergerak memutar botol tersebut.

Berhenti.

Kini tatapan mereka tetuju pada Rigel karena bagian tutup botol itu mengarah padanya. Diam-diam, Adara bersorak dalam hati.

Truth or Dare?”

Tanpa berpikir panjang Rigel menjawab, “Dua-duanya aja biar seru. Satu truth, dan satu dare. Bisa, 'kan?”

“Bisa, asal jangan enggak dua-duanya,” sahut Aletta.

Adara melirik para hantu yang berada di belakang Rigel dan jam tangan yang dikenakan Rigel sekilas. Tiba-tiba Adara mengingat ucapan Kaisar tempo lalu.

“Tapi, Ra. Ada yang aneh sama jam tangan dia.”

Benar juga. Setelah Adara diam-diam memperhatikan Rigel, Adara baru menyadari hal tersebut. Jika Rigel melepas jam tangan untuk berwudhu, semua makhluk astral itu tidak mengikuti Rigel. Mereka hanya mengerubungi jam tangan Rigel yang biasanya di simpan di atas ransel, seolah benda tersebut adalah magnet.

Adara mengerjap, seluruh perhatian tertuju padanya. “Oke, pertama gue kasih pertanyaan.”

Rupanya, mereka menunggu apa yang akan ditanyakan oleh Adara.

“Kalau gue minta untuk hancurin jam tangan lo itu, bersedia atau enggak?” Adara menunjuk jam tangan yang dikenakan Rigel dengan dagunya, refleks Rigel mengangkat tangan kiri yang dilingkari oleh jam tangan tersebut.

Rigel menggeleng dan bergerak seolah memeluk jam tangan tersebut. “Dih, enggak lah! Jam kesayangan gue, yakali dihancurin!” semburnya.

Adara sudah menduga Rigel akan menjawab demikian, sehingga kali ini dia berucap, “Oke. Jadi dare dari gue, lo gak boleh pake jam tangan itu lagi sampai lulus dari sini. Simpan aja di rumah.”

Rigel tampak terkejut, dan beberapa di antara mereka protes. “Apaan, sih, Ra? Apa gunanya lo nyuruh kayak gitu?” seloroh An.

Ada gunanya, lah, jawab Adara dalam hati.

Mau tidak mau Rigel akhirnya mengangguk karena tidak mau disebut pengecut. “Oke!”

Adara hanya membalas dengan anggukan singkat. Mereka hendak melanjutkan permainan dengan memutar botol, namun kedatangan Muthia membuat kegiatan mereka terhenti.

“Muthi mau minta tolong sama kalian. Ada yang mau anterin Muthi pulang? Nenek Muthi meninggal.”

¤¤¤

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang