“SALAH satu perjalanan terbesar dalam hidup adalah mengatasi rasa insecure dan belajar untuk benar-benar tidak peduli.” –JA Konrath
Muthia sedang berusaha untuk mengatasi rasa insecure tersebut, dan berusaha untuk tidak peduli dengan pendapat orang-orang terhadapnya. Namun, Muthia seringkali gagal untuk itu.
Apalagi ketika mendengar cemoohan tentang latar belakang Muthia. Katanya, Muthia itu ‘anak haram’. Padahal, setiap manusia yang lahir tidak bisa menentukan akan lahir sebagai anak siapa.
Gadis berhijab itu menghembuskan napas panjang, dan berusaha menguatkan diri sambil berjalan menuju Royal Class. Dirinya harus bisa bertahan, mempertahankan beasiswa dan bertahan supaya tidak putus asa.
Jika Try Out selanjutnya Muthia tidak masuk sepuluh besar, maka beasiswa akan dicabut. Muthia berkemungkinan masih berada di Blue High School dengan biaya yang ditanggung sendiri, kembali ke sekolah asal dengan rasa malu, atau berhenti bersekolah dan memilih bekerja untuk bertahan hidup.
“Milea!” Panggilan itu membuat lamunan Muthia buyar dan langsung menoleh pada sumber suara. Siapa lagi yang memanggil Muthia seperti itu selain Rigel, laki-laki yang secara tidak langsung menarik beasiswa Muthia.
“Apa, Dilan?” sahut Muthia disertai kekehan pelan.
“Gak apa-apa, nyapa doang. Gue mau ke kelas juga, jadi bareng aja,” balas Rigel seraya menyugar rambutnya yang sedikit lepek setelah memakai helm.
Muthia mengangguk, kemudian keduanya berjalan beriringan menuju Royal Class. Namun baru saja hendak menaiki tangga, seseorang menarik Rigel dari belakang.
Bugh!
Satu bogeman mentah mendarat di rahang Rigel begitu saja. Membuat Rigel yang belum mengerti dengan apa yang terjadi, menjadi kebingungan dan tidak membalas pukulan.
“Dih main tonjok-tonjok aja. Ngomong dulu ada apa wahai tuan Vano, ini wajah ganteng gue jadi—” celoteh Rigel sambil mengusap rahangnya.
“BACOT!”
Bugh!
Rigel terkesiap, dan akhirnya membalas pukulan Vano. “JELASIN DULU MASALAHNYA APAAN ANJIR!” teriaknya sewot.
“ALERGI ADARA KAMBUH GARA-GARA LO, SIALAN!” Vano balas berteriak seraya memberikan beberapa serangan pada tubuh Rigel. Di matanya, tampak gejolak amarah seolah ingin membunuh siapa pun.
Bugh!
Muthia panik, sintingnya dia tidak bisa berubat apa-apa selain menonton. Pun dengan beberapa siswa lain yang mulai berdatangan untuk menonton. Hal yang langka ketika, murid Blue High School adu jotos di tempat umum seperti ini.
Rigel masih bingung setelah beberapa pukulan Vano mendarat di tubuhnya. “Anjing lah, kapan gue—”
Vano menarik kerah Rigel dan berteriak di depan wajah laki-laki itu. “NYAWA TARUHANNYA, GEL! LO JANGAN BERTINDAK SEMAU LO—”
Plak!
Vano langsung melepaskan kerah Rigel, dan menatap pelaku yang menampar pipinya.
“Lo juga bertindak semau lo, bodoh!”
Itu Vania.
“Lo gak tau apa-apa mending—”
“Apa, Kak?” Vania untuk pertama kalinya menatap Vano dengan tatapan setajam itu. “Kakak bahkan gak pernah semarah ini kalau ada siapa pun yang mau nyelakain aku, termasuk Kakak sendiri.”
Vania menatap datar Rigel yang sudah babak belur karena ulah kakak kembarnya. “Maaf atas tindakan kembaran gue.” Setelah berucap demikian Vania menarik tangan Vano untuk menjauh dari kerumunan, tanpa bantahan dari Vano.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...