....-/----.

2.2K 519 63
                                    

SATU lampu menyala dan langsung menyorot seorang gadis yang berdiri membelakangi panggung dengan berambut panjang yang tergerai bebas. Gadis itu mengenakan almamater Royal Class, dan mereka langsung mengenali siapa pemilik tubuh itu.

“Adara?” bisik Zevan tidak percaya.

“Hai, semuanya!” Suara itu terdengar seperti mimpi di telinga sepuluh murid Royal Class.

Adara Mahaputri Sanjaya.

Rigel yang sudah siap dengan cairan kimia, langsung menyimpan cairan itu untuk sekedar menepuk pipinya. Setelahnya, Rigel mengambil cairan itu kembali dan menatap Aletta yang kebetulan tidak jauh darinya. “Ini beneran bukan mimpi?” bisiknya.

Aletta tidak menyahut. Gitaris itu hanya diam sambil memangku gitar dengan posisi duduk bersila.

Sulit dipercaya jika, seseorang yang beberapa menit lalu tidak sadarkan diri, kini berada bersama mereka.

Bersama mereka.

Seseorang yang diketahui adalah Adara itu membalikan badan. Tersenyum, benar-benar tersenyum, dan mengangkat tangannya untuk menyapa. Hal tersebut membuat lapangan utama yang semula terdapat bisik-bisik karena lampu yang tiba-tiba padam, semakin berisik.

Mereka berteriak, tersenyum, melambai-lambaikan tangannya, bersorak kegirangan. Hanya karena Adara tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Adara terkekeh pelan. “Sudah, jangan terlalu berlebihan.” Jeda. “Kami dari Royal Class, berniat memberi sebuah pertunjukan seni, sastra, dan sains. Namun rupanya, ini terlalu mendadak untuk kami yang mengalami beberapa kendala.”

Adara terkekeh kembali, membiarkan suasana lapangan yang dipenuhi dengan sorak-sorai para penonton, membiarkan suasana lapangan tidak tenang seperti semula.

Zevan justru menahan napasnya, dia tidak pernah berpikir jika Adara akan berkata yang sejujur-jujurnya.

“Jika menurut kalian ini luar biasa, maka kami bangga. Namun jika ini jauh di luar ekspetasi, maka tolong hargai kami.”

Dinda menarik ujung bibirnya, tersenyum. Rupanya, Adara masih tetap bisa diandalkan jika soal berbicara dan membuat orang lain bungkam.

“Tunggu apa lagi?” Lampu yang menyorot Adara seketika padam. “Mulai!” Berucap demikian bersamaan dengan lampu yang menyorot pada Vania.

Vania Cassandra. Gadis itu, berdiri dengan tangan yang sudah memegang anak panah yang akan ditembakkan. Tatapannya tajam, tertuju pada sasaran yang disimpan di belakang para penonton. Bahkan, hal tersebut membuat para penonton berteriak takut, hal yang menyebabkan suasana lapangan semakin berisik.

Hap!

Menahan napas, dengan kepala yang refleks menunduk. Pun dengan juri yang duduk di barisan paling depan; Hugo Sanjaya, Antonio Alexander, Vico Haruan, dan Garneo Canavaro.

Orang-orang penting Blue High School menghadiri pertunjukan ini!

Vania menyunggingkan senyumnya, ketika anak panah tersebut melayang dan menancap tepat pada angka sepuluh.

Vania mengambil dua anak panah yang disimpan di punggungnya. Tangannya menggenggam busur erat, dia langsung mengarahkan dua anak panah tersebut pada sasaran yang sama.

Hal tersebut membuat para penonton menarik napas, beberapa berteriak hiperbola.

Tembak.

Hap! Hap!

Memejamkan mata. Jantung berdetak lebih cepat dan mereka refleks menundukkan kepala. Setelahnya, menoleh ke belakang, seperti sebelumnya.

Tepat sasaran!

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang