Lelaki yang kerap

1.1K 17 1
                                    

Pada akhirnya,
Ia mulai sendiri
Sesaat wajahnya berseri oleh pagi,
Juga dikala rembulan
Membias sepasang matanya, dan kini tak seorang pun yang mulai enggan menghampirinya,
Tidak ada.

Selepas kau diijinkan untuk pergi,

Ia kerap berdo'a untukmu,
Agar kelak kau adalah pilihannya
Hanya saja, kau tak menyambut rakhmat Tuhan dari lelaki itu, padamu.
Dalam kalimat do'a nya, kau adalah paragraf yang sendiri, disisikan dari do'a yang lain, ia memang gemar bercerita tentangmu di hadapan Tuhan.
Seolah-olah ia yakin, bahwa kau memang sungguh mencintainya.
Bahkan ia lupa,
Mengapa semua itu harus ia lakukan
Tanpa kehadiran sebuah paksaan darinya.
Hanya saja kau tak perlakukan ia sebagai yang berharga

Ia mungkin bodoh bagimu, bahkan le-laki hina yang kerap mengusik jendelamu di kala malam.
Bagimu.
Ia terlalu fakir dihadapanmu,
Fakir kasih sayang bertinta cinta.

Lelaki itu memang gemar menuntut keadilan dari mu; berupa
kalimat panjang yang tuntas dengan tanda tanya, itu agar ia hanya lebih tahu.
Sesampai manakah ritme kasih yang kau berikan padanya yang dapat bernilai baginya.

Seperti hari, yang selalu bertransisi.
Alam memang selalu menjadi tanda kuasa Tuhan pada kita.
Dengan suara alam yang berpuisi,
Ia duduk menatap langit
Entah ditangannya adalah benda apa.
Yang pasti kudengar darinya;
Benda itu adalah bekas tangan mu.
Yang terakhir,
Yang membekas, seakan-akan
Ia ingin menebas tangan itu
Agar tak ada lagi yang mampu menyandingkan alam. Kemudian,

Di persimpangan alam ini,
Padaku ia berkata;
Pada ujung jalan ini terdapat sebuah sumur hitam yang dalam dan tua, sumur itu serupa denganku sekarang, cukuplah sumur itu menggambarkan prasangka hatiku tentang kebaikannya.

Yang semakin kucari, semakin saja aku dibawa oleh bayang-bayang gelap hingga jatuh pada dasar sumur itu, dan tak menemukan seseorang.

Kecuali, hanya aku yang basah,
Dan
Sendiri. Tutupnya padaku.

Bolehkah kubaca lagi?
Untuk penutup puisi ini?

Untuk wanita yang dulu adalah
Tatapan lelaki itu.
Ia sesungguhnya adalah aku.
Yang membaca puisi lelaki itu
Disamping telinga dan bahumu.
Yang kini, hanyalah sebatas paragraf dalam do'a ku Untuk Sang Pencipta Alam.

Makassar, 2016
Manda'AM

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang