Mutiara(4)

201 3 0
                                    

Tapi rindu, mereka tak pernah paham kapan harus pergi. terus bersarang, terus datang tanpa kurang. membusuk mereka lamat-lamat, dasar laknat!

begini rindu, membatu cukup besar untuk kubangun candi. lalu serat waktu menjerat doa dalam dada, hilang, tak pernah terdengar Tuhan.

harusnya rindu, namun asa telah berlalu. begitulah cara hujan menyiksa, datang bersama bulir-bulir yang pandai memelintir. entah apa maksudnya mereka memberiku sejumlah petir.

cukuplah rindu, hanya saja hilir tak bergema saat dipandang sang hulu. bagaimana tidak? bila acapkali hanya dikirim air bah berurat penolakan. tak perlu diperjelas, aku hilir, dan kau sang hulu diatas sana. aku menadah rindu, dan kau dengan pongah menutup alirannya. aku kering disini, sebagian isiku mati, sebagian lagi berpaling. lusa nanti pastilah tiangnya rebah. esoknya lagi pastilah punggungnya bersisik. lalu selanjutnya, musnah.

kupunya rindu, sayangnya tak bersatu. kupunya rasa, sayangnya hambar tak berbumbu. kupunya kamu, sayangnya itu januari yang lalu. pernah, atau pula selalu aku utak-atik reremahan tulang tahun. tetap saja tak juga aku bertemu yang se-amboi januari yang lalu. itu dulu, bingkisanmu datang 6 hari setelah hari jadiku. jawaban 'ya' balasan dari isi hatiku. bukan main hati bertalu. kuingatkan lagi, itu januari yang dulu.

Imam, Imam-mu kelak InshaAllah.
(Makassar, desember 2016)

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang