Dilarang Pulang

205 1 0
                                    

"Bapak sengaja kan?"

"Sengaja apa? ini sudah takdir."

Hanya itu yang selalu Bapak katakan ketika aku bertanya kenapa dia selalu datang. Bapak bilang ini semua takdir, tapi kenapa hujan selalu datang sewaktu aku akan pulang?. Yang benar saja! pasti Bapak sudah sengaja mendatangkan hujan, agar aku tidak pulang. Bapak sudah sering mengelak, padahal aku sering mendapatinya bercakap pada langit dan tidak lama setelah itu pasti hujan turun.
Hujan pasti selalu turun ketika aku hendak pulang.

Semenjak Ibu mati, Bapak seakan mengurung diri dari terangnya dunia. Dia hanya bercengkrama dengan anak-anaknya saja. Semenjak Ibu mati, aku sering melihat Bapak tersenyum sendiri selagi hujan turun.

"Bapak tolong hentikan hujan, aku akan terlambat pulang!"

"Kau bicara apa nak, Bapak tidak bisa menghentikan hujan."

Dulu sewaktu aku masih kecil, Bapak sering mengajakku untuk menikmati hujan. Katanya, hujan adalah hadiah dari Tuhan yang paling berharga. Sebab, hujan akan datang menghapus dosa-dosa manusia, jadi Bapak mengajakku menikmati hujan untuk menghapus dosa-dosa kami. Bahkan, Bapak dan aku sering mandi dibawah guyuran hujan.

Aku berterima kasih kepada Bapak karena telah mengajariku untuk mencintai hujan. Belajar merindukan awan hitam dan pelangi. Dia selalu mengajarkanku betapa indahnya bumi ketika hujan datang bertamu. Bapak bilang dirinya sudah menyatu dengan hujan.

Sekarang, menurutku sudah tidak masuk akal. Bagiku hujan hanya membuatku susah pulang. Hujan seperti diperintah oleh Bapak untuk tidak berhenti. Aku benar-benar kesal dengan sifat kekanakan Bapak.

Langkah kaki Bapak yang tak muda itu mendekatiku. Senyum Bapak yang samar adalah rasa lelah dengan hidupnya. Aku kadang merasa bersalah padanya. Semenjak Ibu mati, mata Bapak seperti sungai yang tidak kering. Aku tahu Bapak sering menangis didekat jendela kamarnya.

"Bisakah kita mengakhiri ini Bapak? Aku sudah lelah dan ingin pulang" keluhku

"Aku tidak pernah menghalangimu untuk pulang nak."

"Baiklah, aku akan pulang dengan menembus hujan sialan ini!"

Aku bergegas mengambil tas dan jaket kesayangan pemberian Bapak. Aku melangkah melewati Bapak yang hanya memandangku dengan kesedihan. Bapak tak bersuara lagi, dia akhirnya kalah menghalangiku untuk pulang. Di luar, hujan masih deras. Kali ini hujannya benar-benar deras. Sepertinya bapak marah karena aku nekat pulang. Pulang ke rumah yang sengaja kubangun dengan kesedihan.

Saat aku sudah sampai di depan pintu rumah. Sekali lagi aku berbalik, Bapak tetap diam. Aku akan terus menembus hujan ketika bapak melarangku pulang.

"Aku tidak pernah melarangmu pulang nak. Justru hujan itu yang melarangmu pulang. Ibumu yang menjelma menjadi hujan."

Aku benar-benar kesal dengan Bapak. Ini sungguh tidak masuk akal.

"Sudah cukup! Bapak jangan mengada-ada."

"Aku tidak pernah mengada-ada nak. Bukankah kamu yang meminta kepada Ibumu untuk menjadi hujan ketika ia mati? Dan lihat, Ibu mengabulkan permintaanmu.."

Bapak mungkin sudah gila. Yah memang, dulu sewatu Ibu masih hidup dia pernah bertanya, apa yang aku inginkan ketika ia mati. Aku bilang kepada Ibu, "Jadi hujan saja bu, biar bisa menemaniku dan Bapak..". Yah aku akui, tapi waktu itu umurku masih 7 tahun, tingkat imajinasiku sangat tinggi. Aku benar-benar tidak percaya dengan omong kosong ini.

"Yasudah, pulanglah nak. Hujan sudah berhenti dan tidak akan lagi menggangumu untuk pulang."

***

Hujan sudah berhenti. Semenjak hari itu, hujan tidak lagi datang. Tidak lama setelah hujan berhenti, Bapak pun menyusul Ibu mati.

Kini, semuanya benar-benar asing. Satu-satunya harta paling berhargaku hanyalah hujan. Tetapi hujan sudah berhenti.

-Fitri Syamarkandi
Makassar, 2017

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang