Sahabat Lilin

245 1 0
                                    


(Semacam) Monolog

"..Manakala, mentari tua lelah berpijar. Manakala bulan nan genit enggan tersenyum. Berkerut-kerut tiada berseri. Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan.."

Satu per tiga malam penuh, sepasang mata memandang bias sinar lilin yang nyaris termakan habis. Satu per tiga malam penuh. Ketika aku memutuskan untuk memandang lelehan parafin yang perlahan meluruh menodai ukiran marmer. Entah sudah berapa lama nuansa temaram merajuk duniaku. Ku telah menanti lebih dari kesadaran bumi akan padamnya mentari. Mungkin jauh berlipat-lipat dimensi waktu lebih dari itu.

Sekali ini ku diam. Tak ada umpatan-umpatan yang biasanya dilakukan umat 'humazah'.

Karena satu per tiga malam adalah waktu terbaik untuk merenung, ingat ?

Karena satu per tiga malam adalah waktu terbaik untuk mensyukuri nikmat-Nya, ingat ?

Karena satu per tiga malam adalah waktu terbaik untuk bertaqarrub pada-Nya.

Tiga setengah jam semenjak nyaris tengah malam, setelah lebih dari sepuluh ribu per sekian detik dawai-dawai angan mampu mencapai titik tertingginya sebelum membawa getaran hati jatuh ke titik terendahnya, asfaala safiiliin. Suatu titik yang membawaku terasa dekat dengan suasana mereka.

Anak-anak Akit yang terbentang di Bengkalis sana. Anak-anak cerdas yang merupakan bentuk anugerah-Nya pada bangsa yang kaya ini namun tertinggal peradaban jaman. Anak-anak cerdas yang berjuang menyalakan api dalam semangatnya, menjaganya tetap berkobar meski hujan diskriminasi menghujamnya. Tentang anak-anak cerdas yang mungkin terlupakan oleh manusia borju lainnya yang mengedepankan materi atas segala bentuk kekuatan dunia.

Lalu titik non stasioner itu melemparku lebih jauh dari Bengkalis. Sekiranya beribu-ribu mil dari itu. Tentang sesosok Upi kecil yang tinggal di Halmahera ujung selatan. Ah ya, cerita anak berbahasa angka yang hari-hari belajarnya ditemani kesunyian dan kegelapan. Ia sama sekali tidak menjadi enggan untuk belajar. Ia tetap berusaha menjaga semangatnya tetap hidup meski hidup tanpa listrik meski harus bersusah payah membaca dengan kobaran lilin yang tersisa seperempat dari kemarin-kemarin.

Bukan mengumpatnya seperti kebanyakan kami.

Atau cerita tentang anak-anak di tempat prostitusi, yang tinggal di pusaran peradaban jaman yang terbentengi hedonisme. Yang bukan lagi seperti hidup bersahabat lilin. Tetapi hidup menjadi lilin. Tetap menjaga kobaran semangatnya meski deru-deru angin dari dentuman musik bervolume tinggi yang berusaha keras mematikan nyalanya.

Bukan mengeluh seperti kebanyakan kami.

Juga tentang anak-anak yang berusaha keras mengusir ketakutan hatinya, yang malam ini terlelap di emperan toko baju di dekat pasar, yang tinggal di pusat keramaian namun luput dari perhatian. Yang mungkin tidak mengenal sebatang lilin. Kegelapan malam sudah menjadi kawan baiknya diantara temaram tiang lampu jalanan. Yang mungkin ditakutkannya hanya satu; kedzoliman manusia yang menganggu lelap tidurnya.

Bukan menyumpah serapahi keadaan seperti kebanyakan kami.

Kali ini kau harus diam. Hanya saja cobalah menyelami meski lewat angan, banyak fase kehidupan yang kau pun seharusnya merasakan. Bahwa hidup bukan hanya mengumpat akan sesuatu yang tidak berkenan. Bukan hanya sekedar memarahi keadaan, tetapi tentang kesabaran dan keikhlasan. Lihatlah kawan adik-adik kita dengan cerita lilin-lilinnya. Tentang secercah harapannya yang tersurat melalui nyala sebatang lilin.

Dirangkai sambil mendengarkan alunan nada "..Dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau mengganti sanggupkah kau memberi seberkas cahaya. Engkau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau berpijar sanggupkah kau menyengat seisi dunia.."

Disadur dari catatan lama,

Gelap hari di kota kecil pada bulan Juni.

— Erika Seprijadi

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang