[ Half Way There ]

179 2 0
                                    


----------------------------

Setelah melipat jarak sebegitu jauh, di perjalanan panjang kudapati ponselku bergetar kembali di atas pangkuanku—memunculkan nama sang tuan yang sedang menunggu kehadiranku.

                  *4 new messages*

Mi amor🌜  : "PING!!!"
Mi amor🌜  : "PING!!!"
Mi amor🌜  : "PING!!!"
MI amor🌜 : "Kamu sudah di mana?"

Hanya kubaca pesan dari sang tuan, kupandangi jalanan lenggang di hadapan, sembari sesekali kucuri tatap ke layar ponselku, menyempatkan membalas pesan yang bertubi-tubi masuk tanpa sabar menunggu.

Me : "Sebentar lagi aku sampai."

Kembali menatap ke depan sambil mengerutkan dahi, aku melambatkan kecepatan mobilku. Terlalu gelap—bahaya, pikirku. Aku tidak mau menabrak hewan atau polisi tidur.

Drrrtttt..Drrttt

Ponselku kembali bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk dari sang tuan. Kuabaikan panggilan yang masuk demi keselamatanku sampai tujuan. Namun untuk kesekian kali, sang tuan tidak mampu menahan diri, sehingga dalam hitungan detik ponselku kembali berdering—memunculkan namanya sebagai pemanggil.

Drrrt.. Drrrrttt

"Hallo," ucapku sembari memasang earphone agar memudahkanku menjawab segala ocehannya.

"Kamu di mana?"

"Tunggu, akan kuhubungi jika sudah sampai. Berhentilah menggangguku menyetir. Bersabarlah sedikit."

Kumatikan sambungan teleponnya, dan kembali fokus pada jalan yang sedang kulalui. Sembari memantapkan diri menemui sang kekasih hati.

Aku menggenggam erat roda setirku, waswas akan rambu-rambu lalu lintas yang berganti-ganti. Kunaikan kecepatanku sedikit, namun satu menit kemudian mobilku kembali melaju perlahan. Dan telepn masuk terdengar kembali dari sang tujuan hati. Aku mulai kesal mendengar suara itu. Kuangkat panggilannya dengan earphone masih terpasang di telinga.

Drrttt... Drrrttt.

"Sudah kubilang, sebentar lagi aku sampai," ucapku membuka obrolan.

"Tidakkah kau tahu? Aku sudah menunggu di sini dari tadi, kau bilang akan datang?" tanyamu dengan nada sedikit jengkel sebab menunggu terlalu lama.

"Ya aku akan datang. Kau harus sabar sedikit, aku tidak bisa fokus dan berhati-hati jika kamu terus menodongku seperti ini," jawabku dengan tatapan masih kepada jalanan di depan.

Suara sunyi dari ponselku menemani perjalanan, namun aku masih mendengar desau angin yang menandakan ia sedang terdiam.

'Mungkin kata-kataku terlalu kasar barusan,' pikirku.

"Hei, aku minta maaf. Bersabarlah sebentar. Aku sudah mau..." belum sempat mengakhiri kalimat ia pun menjawab,

"sudah mau sampai, iya. Aku mengerti, sangat mengerti."

"Jika kau mengerti, mengapa seperti ini? Apakah tidak ada waktu hanya sekadar menungguku sampai di sampingmu?" tanyaku lirih—mengingat hening yang semakin menusuk ke dalam kalbu.

"Segenap waktuku telah tertuju padamu. Mengertilah, aku tidak bisa diam mematung berharap kau segera hadir menemuiku."

Aku terdiam—mendengar ucapanmu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Bukan, bukan seperti ini yang kuingin. Aku hanya perlu waktu agar sampai dengan selamat; agar hatiku siap menyatu.

"Mengapa terdiam?" tanyamu membuat lamunanku menghilang dalam sekejap.

"Bersabarlah, Sayang. Tunggu aku sedikit lagi, setidaknya sampai aku benar-benar sampai."

Kini giliran kau terdiam. Entah apa yang ada di benakmu kini, kudengar embusan napas yang berat di ujung sana. Aku menghentikan mobilku, berusaha mengatur segala ego agar tidak melukaimu.

"Tunggu, ya?" Kututup telepon dan melanjutkan perjalananku.

Aku mulai khawatir—mendadak semuanya terasa sempit, aku panik. Kali ini tanpa ragu, kuinjak gas dan menaikan kecepatanku.

Aku tidak peduli lagi dengan rambu-rambu,
Aku tidak peduli lagi dengan polisi tidur,
Aku tidak peduli lagi dengan lampu jalanan.
Di kepalaku sekarang hanya ada satu hal;
                            aku harus segera sampai.

Jantungku berdegup semakin cepat, aku melirik ponselku; tidak ada pesan, tidak ada telepon masuk. Suara getaran panggilan masuk yang kubenci, seketika menjadi harap yang berkecamuk di kepalaku.

'Kumohon, teleponlah aku.' Aku meringis kepada diriku sendiri—bandang sudah tak sanggup kubendung, air meluruh dari pelupuk mataku; tangisku pecah.

Tagihlah lagi janjiku, kumohon.
Tetaplah di sana,
telepon dan marahilah aku.
Jangan berhenti.

Kumohon.

Sembari melaju kencang aku mengambil ponselku dan menekan tombol call back. Hanya nada sambung, selama sekitar sepuluh detik. Aku menangis sepanjang nada sambung itu, berharap kau mengangkatnya—sepuluh detik terlama dalam hidupku.

Lalu kau pun mengangkat telepon, "ya? Ada apa?"

"Aku sudah mau sampai! Maafkan aku! Aku mohon tunggulah sebentar lagi! Aku janji aku akan ke sana! Aku tidak ragu lagi untuk mengebut. Aku mohon tunggulah sebentar lagi, Sayang, ya?"

Kau pun terdiam, lalu berkata dengan sangat pelan,

"...sudah, kau tidak perlu terburu-buru."

"Apa kau akan menungguku?" tanyaku takut.

"Kau tidak perlu ke sini, tidak apa. Berhentilah sebelum kau terlalu jauh dari rumahmu."

Seperti tertabrak truk, hatiku berhenti sejenak.

"Ti-tidak..... tidaktidaktidak! dengar! Aku minta maaf! Sayang, aku mohon sebentar lagi. Aku mohon ja-jangan pergi," kataku terbata sebab tangisku belum juga reda.

"Hei, aku tidak apa. Kau tidak perlu ke sini. Berhentilah sekarang, maaf." Telepon terputus seiring dengan harapku yang pupus.

Aku menghentikan mobilku.

Aku tidak bisa berhenti menangis, rasanya seperti sesuatu telah direnggut dari diriku.

Aku tersesat sekarang.

Aku tidak mau pulang.

Telingaku lapar akan suara getaran panggilan masukmu, aku butuh itu. Kumohon.








Sekali saja, sebentar lagi aku sampai.
Kumohon.







[ a Guy u used to know ] x [ yourbae ]
#yourbaelist

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang