Kini aku hidup di Bulan yang berwarna kuning. Bulan ini sesungguhnya berwarna keemasan, namun telah pudar sebab adanya aku yang berpindah membawa syair serta ratapan penghianatan.
Sebelumnya, di Bulan berwarna merah tua aku pernah hidup. Selama beratus malam, menghabiskan dingin dan melahap gigil sembari beradu rindu dengan kerlip yang mengintip dari matamu.
Belasan malam denganmu aku baik-baik saja. Tak ada yang aneh. Semua keinginan terkabul. Harapan pun sesuai rencana.
Puluhan malam kau giat memberiku peluk dan kecupan. Semakin tak terasa dingin yang setiap waktu membekuk tubuhku. Semesta indah. Bak tak ada lagi yang miliki kebahagiaan selain kau maupun aku.
Ratus malam awal, kau mulai berlaku acuh pada gigilku. Membiarkan desau angin menggerayangi celah-celah pori. Nadiku nyaris henti. Namun pagi masih hidup. Masih mampu memberi hangat walau sesaat.
Ratus kedua kau hendak pergi. Langkahmu melambat. Kau kehilangan arah tujumu. Dan aku, kehilangan separuh hati yang seharusnya tak kau bawa lari.
Hingga ratus malam yang kesekian, kau benar-benar hilang. Membawa segalanya yang aku butuhkan. Membakar habis seluruh perasaan sampai tak bersisa. Amarahmu melebihi panas matahari siang. Aku mengumpat. Bulanku tak lagi merah. Bulanku berubah air mata dan darah.
Aku pun memutuskan pergi. Mencari tempat sembunyi untuk sendiri. Dan kutemukan Bulan sunyi berkilau keemasan. Aku berhenti disana dan memutuskan untuk tinggal.
Namun, baru saja beberapa malam aku tinggal, kau datang lagi mengendarai bintang yang dulu sempat kita debatkan. Kau ingin ikut tinggal tanpa membawa sehelai rindu pun. Dan aku harus menerimanya?
Lebih baik aku pergi lagi. Dan kau boleh saja tinggal disini sesukamu. Aku akan meminta awan untuk mencarikanku Bulan yang tidak memiliki nama maupun warna. Agar tak kau temukan aku lagi di dalamnya.
Bogor 2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Liar
PoëzieHanya sekumpulan sajak yang dapat mewakili semua isi hatiku yang tak dapat aku ungkapkan~ happy reading yaa :) rfrns: sajakliars@gmail.com