[Nyanyian Bapak; yang sedari dulu tak pernah berubah nadanya]

164 2 0
                                    

"Dalam hidup ini yang perlu kamu hindari itu cuma dua; kantor polisi dan dan rumah sakit."—Bapak, dengan usia yang hampir senja.

Aku belajar mengilhami apa yang di katakan oleh bapakku di atas.
Bahwa, kedua tempat tersebut selalu punya sisi edukasinya masing-masing.
Entah berakhir dengan menyadarkan, menyelamatkan, ataupun menyelesaikan.

Bagiku, kedua tempat itu memiliki pengalaman yang sama pada akhir cerita; penyesalan. Tetapi, masing-masing tempat punya pola yang berbeda. Itu wajar. Karena di dunia yang begitu rimba segala tafsirannya ini, aku hidup dengan mengenal satu istilah bahwa; beda tempat, beda pula rasanya.

"Kalau berurusan sama kantor polisi, sudah pasti dekat dengan borgol, administrasi atau jeruji. Kalau berurusan sama rumah sakit, ya urusannya hampir-hampir mirip sama yang di atas juga, nak. Ada administrasi, hidup atau mati." —Bapak.

Pada perkataan Bapakku di atas, aku mencoba memaknai apa yang ada di dalamnya. Aku yakin, selalu ada pesan tersirat yang ia sisipkan di sana. Ia tak ingin memberitahukan langsung kepadaku. Ia ingin, aku sendirilah yang mencari jawaban atas apa yang telah ia hembuskan diantara telinga, dan pikiranku.

Bapakku, aku tahu bahwa engkau ingin mengajarkanku sesuatu. Perihal mencari sendiri dengan kemampuan kita itu lebih baik dan terhormat nilainya—meskipun sedikit hasilnya atau hancur sekalipun hasil akhirnya. Daripada mendapatkan sesuatu ataupun jawaban dari bisikan orang lain—meskipun begitu memuaskan hasil akhirnya—tanpa ada sedikitpun usaha dari diri kita sendiri.

Aku hanya ingin menegaskan kembali mengenai tekadku, kepadamu—Bapakku. Bahwa, perihal rumah sakit dan kantor polisi tidak akan pernah menjadi tempat bermainku sampai kapanpun. Sekarang, ataupun hingga nanti. Jangan khawatir, Bapakku. Aku masih memiliki tempat bermain lain yang lebih menyenangkan dari itu.

Dan lewat tulisan ini pula aku ingin berterima kasih kepadamu juga, bahwa sesugguhnya dari perkataanmu di atas, kau telah menjelaskan kepadaku jawaban atas segalanya.

Aku menyimpulkan bahwa kedua tempat tersebut tak pernah lepas dari segala jerat administrasi. Itu jelas. Di negara yang sudah sangat kaya ini, administrasi masih tetap menduduki puncak tertinggi. Karena ia adalah bagian dari aturan. Dan, aturan tetaplah aturan. Ya, hanya saja, penerapannya yang sedikit berbeda di kedua tempat ini.

Pada kantor polisi.
Andaikata setelah borgol berhasil menghampiri, kau akan diharuskan. Ya! Diharuskan—sebagai prosedur di Negeri ini, untuk menyelesaikan segala proses administrasi, sebelum pada akhirnya vonis di jatuhkan di dirimu nanti.
Apakah kau dapatkan kunci untuk melepaskan borgol seksi itu darimu, dan pergi.
Atau, kau akan mendapatkan kunci, untuk kamar peristirahatanmu yang di hiasi jeruji.

Sementara itu,

Pada rumah sakit.
Andaikata pula naasnya diri yang bertemu bala di suatu hari. Pada keadaan diri yang sudah berada pada titik hampir di ujung hidup ataupun mati.
Kau akan diharuskan. Ya! diharuskan—sebagai prosedur kelancaran, penanganan cepat tanggap dan reaksi—untuk menjalani prosesi administrasi lebih dulu.

Bukan diselamatkan lebih dini perihal diri dari pertikaian antara hidup dan mati. Bukan.
Kau akan dihadapkan kepada nyanyian para dokter dan suster-suster yang meneriakkan lagu pengiring kematian di telingamu dengan lantang.
"Siapa yang bertanggung jawab atas pasien ini?"
"Maaf, kami tidak bisa menangani pasien ini jika segala administrasi belum di lengkapi. Mohon di lengkapi dulu proses administrasi ini.."
Pada kedua tempat yang selalu aku coba hindari, aku ingin mengalamatkan pesan ini.
Jika harga sebuah keadilan itu lebih besar dibandingkan dengan besarnya seluruh nominal pada seluruh mata uang, masihkah ada tempat bagi ketulusan hati dan kesempatan memperbaiki untuk memperjuangkan mereka-mereka yang tak layak di tempatkan di balik jeruji?

Dan.
Jika harga sebuah kemudahan memberikan pertolongan lebih besar daripada label dan tagihan obat-obatan, serta mahalnya harga dari sebuah tanda tangan.
Masihkah ada tempat bagi ketulusan hati dan kesempatan untuk menyelamatkan mereka-mereka yang lebih dulu mati sebelum jarum suntik dan antibiotik masuk di raga mereka yang sudah sepertiga mati?
Terima kasih, Bapakku.
Berkat dari pesanmu, aku bisa sedikit belajar.
Meskipun masih banyak salah yang aku takar, setidaknya itu murni, dari dalam diriku yang bermain-main dengan nalar.

Muhammad Farid
Batam, 2017

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang