Abu-abu yang kuinjak dan meja yang tak lagi menjadi wadah bagi jalan keluar.
Kini alam menyerah dan tak berpihak kepada siapa-siapa.
Ada yang kaya dan kelaparannya keluarga yang rela menunggu hujan,
dan tanah yang tak bertanam kentang melainkan bata penyokong istana para raja.Selepas hujan, pelangi membias di antara kaca gedung bersusun dengan segala kehangatan.
Begitu hangat hingga gigil di sekujur badan bocah kecil yang larutnya binasah sebab hujan air mata di rumah beratap angkasa.
Diatas, pagi menyerupa kepedihan yang jenuh di segelas susu dan sarapan bergaya eropa.
Dibawah, sesekali pagi menjelma kebahagiaan dalam tas bocah yang jebol tersulam peniti.Kita sebagaimana darah kekalahan atas ulah tulang yang menebas kesenjangan dengan kejam.
Ada jembatan di atas arus deras sungai yang mengantarkan anak-anak kepada sekolahnya, yang tak terlihat atau sengaja tak dilihat oleh penguasa yang sibuk menyesak berankas pada kamarnya.
Keadilan hanya ada di dalam bahasa dan punah di atas tanah.Sepasang mata garuda kini buta, tak ada beda miskin dan kaya.
Padi dan kapas merenggas, sementara kesenjangan kian jelas.
Ibu pertiwi serupa ibu tiri, mengasingkan di pojok kanal bocah peribumi.
Toleransi yang selalu dikumandangkan tak seindah seorang kakak yang terpaksa tak makan demi adiknya tetap kenyang.Kita seperti upacara.
Gagah berdiri kearah tiang yang tak menjawab apa-apa.
Rasanya aku lebih tertarik menatap sepatu dekil punya sendiri.
Sebab sesekali perjuangan di mulai dari kaki, bukan serak suara yang teriak dan berakhir tak didengar.Inilah ceruk-meruk kehidupan, dimana semua tak ada beda.
Tawa kekenyangan dan tangis busung lapar dianggap sama.
Dari zaman proklamasi sampai teknologi informasi.
Masih ada saja rakyat yang mati kelaparan dan repot cari nasi.•••••
Adri Lubis dan Pengagum Huruf "R"
Medan - Jakarta
April 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Liar
PoetryHanya sekumpulan sajak yang dapat mewakili semua isi hatiku yang tak dapat aku ungkapkan~ happy reading yaa :) rfrns: sajakliars@gmail.com