Lukisan Kota Tua

177 1 0
                                    

—CERPEN—

"Mak aku pergi nongki-nongki dulu yak" ucapku.
"Heh, elu tong, pergi main terus. Mau nongki di mana lu?"
"Alah kayak enggak tahu anak muda jaman sekarang aja sih mak, yah di kape-kape lah"
"Yaudinlah, tapi hati-hati loh, jangan sampai lewat kota tua. Ada pelukis misterius di sana tong, konon orang yang dilukis dia, besoknya udah mati loh"
"Oncret (alright) makkk, selaw aja deh, berangkat dulu. Assalamuálaikum"
Begitulah suatu kejadian perizinan saat aku hendak pergi nongkrong, benar antara aku dan mamakku. Tapi sebentar, ada hal yang harus aku luruskan di sini. Sebenernya namaku bukan seperti apa yang emak ucapkan. Bukan otong loh ya, itu mah burungnya anak cowok. Bukan lontong, itu makanan kesukaan Pak Hadi. Tau dia siapa? Ya, benar tetanggaku yang cerewetnya kaya kucing kalau lagi tidur. Nah loh, gimana tuh? Alah serah deh.

Oh iya sebelumnya perkenalkan deh, namaku Aris Setiawan. Bagus banget yak? Lahir dari rahim ibu. Enggak ganteng, cuman rada keren aja sih, itu pun kata emakku tadi. Suka sama cewek. Kenapa aku suka sama cewek? Karena aku cowok normal. Kagak kayak temen sekolahku Zai, eh aku kasih tahu ya tapi jangan bilang siapa-siapa loh, katanya dia suka cowok. Kamu ngerti gak kenapa? Aku pun tak tahu. Wallahualam.

Malam ini aku dan teman satu komplotan anak skate, kira-kira ada 6 orang sih, mau aku kenalin satu-satu? Enggak ah capek, yang pasti ada satu yang bikin aku gemeteran. Kamu tahu lah, siapa lagi kalau bukan si Zai. Kami lagi mau ngadain acara rapat kecil-kecilan. Yah kayak mubes (musyawarah besar) biar seperti organisasi resmi gitoh. Kamu tahu apa yang ingin kami bahas? Mungkin seperti kenapa kok bisa dinamain skate kenapa bukan skak atau apalah gitu. Terus kenapa kok bentuk skateboard bisa lonjong, bukan persegi atau lingkaran aja, kan lebih imut.

Aku dengan para sahabat-sahabat (katanya) pergi ke kafe dekat kota tua. Kamu tahu kota tua? Ya, kota yang umurnya sudah tua, udah gitu aja. Di sana memang banyak kejadi misterius bin menyeramkan. Maka dari itu emakku tadi sempet kaget kalau aku nongkrong di kafe deket kota tua.

Sesampainya di kafe, semua pada pesan kopi. Tapi aku tidak, aku mau pesan sesuatu, yang tentunya lain dari yang lain, biar kelihatan kayak orang kaya.
"Mbak aku pesen yang paling muahalll di kafe ini"
"Eh, apa ya mas? Itu beneran mas? Jawab pelayan kafe yang katanya berkelamin perempuan itu dengan sedikit kaget.
"Iya mbak, aku pesan white water mix ice"
"Loh kok kayak asing gitu mas, di menu enggak ada loh"
"Iyalah enggak ada orang di menu tulisannya kan es air putih. Duh gitu aja enggak tau mbak, khampungan yak"
Etah kenapa tiba-tiba pelayan itu meninggalkanku dengan wajah yang judes. Eh, judes tapi manis loh, yakin deh.

Kami di sana pun ngobrol sampai berjam-jam, sampai kafenya tutup, keinginan buat ngobrol lagi akhirnya tertunda. Pelit amat sih, kafe pakai acara ditutup segala. Mau tak mau akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing.
"Besok kita kalau mau rapat lagi, buat kafe sendiri aja deh. biar enggak ada tutupnya" teriakku pada mereka.
"Siyappppppp lah bossss..."
"Bangunnya pake uangmu yak. Kan uangmu uangku, uangku ya uangku" sahut si Zai.
Sialan si kampret ikutan ngomong lagi. Mata serasa mau merem, enggak tahu kenapa. Mungkin ini yang dinamakan ngantuk. Duh, manusia emang ada-ada aja.

Saat perjalanan pulang, aku berjalan sendirian. Salah siapa rumahku paling ujung nan jauh sendiri. Maaf ayah aku enggak nyalahin kamu, cuman aku ngerasa enggak adil ajah. Di sudut kota tua, tepatnya di bawah lampu. Lampunya berwarna kuning. Ada seseorang yang tertidur pada sandaran tiang lampu kota tersebut.
Aku pun menghampirinya. Sepertinya dia juga kelaparan. Untungnya di saku jaketku masih ada rotiku satu bulan yang lalu, kemudian aku berikan ke dia. Bukannya sok pahlawan. Dia anak kecil. Kenapa anak kecil? Karena dia bukan orang tua. Kayak cewek, tapi enggak tahu kalau ternyata malah perempuan. Kira-kira umurnya 10 tahunan. Wajahnya kumel sekali, di sampingnya terdapat berbagai macam lukisan siluet bergariskan tinta merah. Sewaktu aku menanyakan kalau dia bisa melukis, dia pun mengakuinya. Katanya dia mencari uang dari melukis tersebut.
Katanya demi membalas kebaikanku karena telah memberikan roti dia pun ingin melukisku, sebagai hadiah.

"Yakin nih bisa ngelukis orang sekeren aku dek?"
"Hehe, iya bisa lah kak. Tunggu beberapa menit ya"
"Siyappppp"

Tak lama kemudian lukisanku pun jadi, setelah aku berterimakasih padanya, aku hendak bergegas pulang. Tentu saja takut dicariin emak nantinya. Sesampainya di rumah aku tak lupa membuka pintu, karena aku tak mungkin bisa masuk kalau pintunya tidak dibuka. Langsung deh dengan perasaan tak sabar aku ingin menempelkan lukisan sketsa wajahku tadi pada dinding kamarku. Setelah aku tempel, sebaiknya aku tidur dulu.

Beberapa detik setelah aku memejamkan mataku, tiba-tiba ada cairan yang menetes di pipiku. Alamakkkkk... ternyata tetesan itu berasal dari lukisanku tadi. Bahkan itu bukan air biasa tapi adalah darah yang mengalir dari lukisan sketsa wajahku tersebut. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa karena sangat lemas sekali. Aku pun melihat anak kecil pelukis di kota tua tadi, sekarang sedang berdiri di pojok dinding kamarku. Aku semakin lemas, sebelum mataku mulai terpejam lagi aku pun teringat oleh pesan emakku. Yah, pesan dimana aku tidak boleh berjalan di kota tua, karena ada pelukis miterius di sana.

Saat aku terbangun dari tidurku tadi, seisi ruangan kini menjadi putih, begitu juga dengan baju yang sedang aku pakai kini. "Di manakah aku...?".

Cerpen Karangan: Hidar Amaruddin
Blog: Hidars.blogspot.com

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang