Bumi; Semesta

250 2 0
                                    

Bumi

Siang ini aku menembus padatnya kota Jakarta, dengan motor peninggalan ayahku. Suara-suara klakson dan hawa panas mesin-mesin kendaraan, seperti mencaci perasaanku. Aku terombang-ambing oleh lempengan hati yang digoyah berkali-kali.

Aku sampai pada sebuah pilihan tentang peran yang harus kudalami. Tentang Ulan, dan Artari. Keduanya sama, memiliki perannya sendiri.

Kuberhentikan motorku di sebuah lahan parkir kampus, tempat Artari kuliah. Hari ini aku berniat memperbaiki jarak di antara kami.
Dari kejauhan, aku memandang seorang wanita yang kutunggu sedari tadi. Lalu kuhampiri

"Kamu ikut aku hari ini, ya?" Kataku, mengejutkan Artari. Namun Artari hanya diam saja menatapku.

"Masih marah? Ini udah menjelang sore loh. Seharusnya Matahari bersiap-siap memberi senyum untuk Bumi." Lanjutku, menggoda.

Senyum penuh paksa keluar dari wajah Artari, dan itu membuat kutertawa.

"Yasudah, ayo." ajakku.

"Kemana?" Tanya Artari.

"Temani aku menulis." Jawabku. Seraya meraih tangan Artari.

#

Bulan
(Di sebuah bandara)

Langkah kaki kecilku menyusuri jalan setapak di sebuah bandara. Suara roda-roda kecil di koper yang kuseret, seperti memberi irama untuk langkahku.

Aku tersesat dalam harapanku sendiri, kepalaku memutar semua fragmen yang sudah lama ditinggalkan. Dan tersesat membuatku ingin kembali ke tempat kumemulai.

#

Matahari

Wajahku meriah, oleh lengan yang mengiringi langkahku. Ada hangat menjalar di pori-pori kulit jemariku. Hangat yang kudambakan dari dulu. Namun kemeriahan itu berakhir sebelum aku mengatakannya, saat kudapati Marsel berdiri di depanku.

"Tar, kamu mau kemana?" Marsel bertanya. "Aku mau mengajakmu makan malam, di restoran kesukaanmu." Lanjutnya. Tiba-tiba tanganku terlepas dari Bumi, dan itu membuatku menatap Bumi lamat-lamat. Lalu Bumi melangkah pergi meninggalkan kami berdua.

Bumi berjalan semakin jauh, sampai di tempat motornya berada.

"Helm buatku, mana?" Sontak Bumi terkejut.

"Kamu bukannya mau pergi sama dia?" Tanya Bumi.

"Dia tidak tahu, kalau restoran itu sudah tidak ada, bersamaan dengan semua ceritanya." Jawabku.

"Kamu kenapa gak jadi penulis saja?" Tanya Bumi, seraya memberikan helm kepadaku. Kami pun tertawa.

#

Semesta

Sebuah kedai dengan dua bagian; bagian dalam dan luar. Meja, kursi kayu dan pencahayaan yang remang, di selimuti alunan musik Bossa Nova menjadi tempat perlarian Bumi selama ini. Kursi di sisi luar dekat pintu menjadi kursi favorit Bumi. Sebab baginya, di kursi itu, tak ada pembatas antara dia dan Dunia. Namun sore itu, kursi favorit milik Bumi sudah terisi oleh seorang wanita dengan kemeja kotak-kotak biru yang dipadu dengan kaos berwarna putih, yang tidak lain adalah Ulan tengah menikmati secangkir kopi dan buku yang tidak terlihat judulnya, bersama dengan seorang pria yang masih menjadi rahasia. Namun Bumi tidak mengetahuinya.

Bumi kecewa. Menatap lamat-lamat ke arah wanita itu dari dalam kedai.
"Kamu kenapa?" Tanya Artari.

"Itu kursiku." Jawab Bumi, sambil menatap ke arah wanita itu.

"Ya sudah, kan masih banyak kursi kosong." Artari mencoba memberi pilihan.

"Tapi seharusnya, wanita itu tidak tahu tempat itu. Kursi itu seharusnya tidak di sana, jika aku tidak ada." Bumi tetap tak terima.

"Jadi?" Artari menantang. Sembari menatap mata Bumi.

"Ya sudah, tempat lain." Bumi menyerah.

Artari dan Bumi duduk saling berhadapan, di bangku sisi dalam tepat di belakang Ulan yang berada di sisi luar. Artari menatap Bumi yang masih kecewa. Namun Artari masih mencoba memahaminya.

"Kamu ingin menulis apa?" Tanya Artari, mencoba membuang senyap di antara mereka.

"Tidak jadi." Jawab Bumi, datar.

"Ya sudah, aku mau bicara." Kata Artari.

"Bumi, jika ada alasan Matahari meninggalkan Bumi. Maka itu berarti adalah sebuah alasan yang tidak satu manusia pun mengerti.

"Maksudnya?" Tanya, Bumi.

"Maksudku, aku memang sempat membencimu, karena kamu tidak peduli dengan dirimu sendiri. Apalah gunanya aku; Matahari, yang katamu memberi pelangi untukmu, jika setelah pelangi itu hilang, kau seenak-enaknya dengan hidupmu." Jawab Artari. Bumi diam, merasa mengerti apa yang dimaksud Artari.

"Aku tidak pernah terlalu tinggi untuk kamu raih, Bumi. Sebab kamu memang sudah meraihku. Bumi, aku tahu kau kecewa karena tak bisa menikmati senja di tempat favoritmu itu, kan? Tapi dengarlah, selamanya kau Bumi yang tak pernah telat menyadari keindahan Matahari, dan aku Matahari yang tak akan pernah lelah memberimu warna." Lanjut Artari, lagi.

Sore ini, Bumi tak banyak bicara. Matanya terlalu khidmat memandangi Matahari yang tersenyum di depannya.

#

Bulan

"Dia benar, Bumi". Ulan berkata dalam hati, dengan senyum yang lirih.

#

Semesta
                                 
Ulan yang sedari tadi ternyata menyadari kehadiran Bumi, namun enggan menyapa. Karena baginya, jika Matahari dan Bulan dalam satu pandangan Bumi, hanya akan membuat Bumi menjadi padam. Maka itu Ulan memilih diam, dan bersembunyi.

#bumi #webseries

Bumi, 2017
-andhikahadip

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang