Penaku mengeluh karna terus menggores namamu di atas kertas,
Begitu pun dengan jemari yang tak henti mengetik inisialmu dalam catatan kecil di layar handphoneku.Bosan, katanya.
Bukan kamu saja yang bisa bosan,
Bahkan pena dan jari pun muak mengukir satu demi satu abjad dari namamu.Tapi ketahuilah, sayang.
Pena dan jariku tak akan menyangka,
Betapa indahnya ukiran namamu di sini.
Iya, di dalam sini.
Di tempat bersemayamnya detakan sakral—yang kalau tidak salah, cinta namanya.Mungkin saja kau ingat,
Bahwa telapak tanganku pernah merasakan detakan yang luar biasa hebat.
Iya, yang kumaksud itu detakanmu, bodoh.
Kau sendiri yang malam itu menenggelamkan telapak tanganku di dadamu,
Setelah sebelumnya kau genggam.Ah aku lupa, maaf.
Kau tidak ingin aku membahas tentangmu lagi, bukan?Sebenarnya, aku tidak ingin.
Tidak ingin mengingat,
Tidak ingin mengenang,
Tidak pula ingin mengungkit.Namun kau pun tau,
Sang waktu selalu tertawa tatkala aku mendesak ingin melupakanmu.Sejujurnya, sayang.
Aku tak penah bisa menahan tangisku.
Walaupun kutau air mataku adalah hal yang kau benci.
Kau tidak suka melihatku menangis,
Selalu kuingat itu.Namun kau juga perlu tau,
Semua yang terjadi di antara kau dan aku,
Membuatku sadar bahwa menangis merupakan kebutuhan jiwaku disaat ragamu tak lagi sudi menjadi sandaranku.Kalau boleh,
Izinkan aku menangisimu—lagi.
Izinkan aku menikmati pedihnya rasa sakit,
Lantaran harus menghadapi akhir dari apa yang kuanggap terakhir.Tetapi tenang,
Tangisan ini bukanlah tangisan penyesalan atasmu,
Melainkan tangisan dalam bayang-bayang akankah kelak aku bisa menangis bahagia bersamamu dengan tangan keriput yang saling menggenggam.
Eh, aku mengingkari janjiku ya?
—Erika Fadillah
Bekasi,
29/07/2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Liar
PuisiHanya sekumpulan sajak yang dapat mewakili semua isi hatiku yang tak dapat aku ungkapkan~ happy reading yaa :) rfrns: sajakliars@gmail.com