Sajakliar prt.29

147 0 0
                                    

Kemarin di sebuah cafe tidak jauh dari pusat kota tidak sengaja ku dapati kau sedang duduk di dalamnya. Aku menghampirimu dengan banyak rasa yang tercampur didalam kepala, yang di antaranya paling bergejolak yaitu entah sedikit merasa iba atau merasa senang setelah sekian lama kita tidak berjumpa—terakhir, musim hujan di bulan januari setahun yang lalu saat kau benar-benar sudah tidak lagi memperdulikan keberadaanku.

Kau lebih dulu di temani oleh dua gelas bir dingin di atas meja yang mengandung setidaknya 16,2% Alkohol—yang telah kau pesan setengah jam yang lalu sebelum kedatanganku.

"Yang memabukkan sedikit memberikan ketenangan" katamu.

Namun setelah kau sadar, kenyataan yang ada hanya akan terasa semakin menyakitkan. Kau tak pernah berubah sedikitpun, masihlah perempuan yang tak suka mendengarkan perhatian.

Tidak ada kata sambutan, apalagi hangatnya sebuah pelukan. hanya sekadar berbalas tatap lalu ada senyum getir yang sama sekali tak pernah kulihat saat dulu aku selalu berada disisimu. seperti ada tangisan yang tertahan dan ingin segera di lepaskan dari balik ranumnya bibirmu.

Aku duduk tepat di depanmu, setelah spontan menahan lenganmu yang ingin meneguk habis segelas bir untuk yang ketiga kalinya.

"Cukup!" kataku.

Lalu setelahnya 10 menit mulut kita membeku, hanya ada dua pasang mata yang saling menatap terpaku.

Satu menit terlewati lagi, akhirnya aku memutuskan untuk lebih dulu menyapamu.

"Apa kabar? Setelah sekian lama..."

"Seperti yang kau lihat, aku tidak pernah merasa baik setelah menyadari hanya kau lah satu-satunya yang paling tulus mencintaiku. Aku salah."

Bibir dan jemarimu bergetar hebat, seakan kau sedang merasakan betul bagaimana rasa sakitnya kehilangan.

"Tak boleh ada penyesalan untuk suatu keputusan. kau akan bahagia lagi, namun jika kau bersedia menerima semua rasa sakit akibat keputusanmu dan tidak berusaha untuk menolaknya. Terkadang hati perlu di tempa dengan luka agar bisa di isi oleh bahagia setelahnya" kataku.

Dan untuk kesekian kali, monolog mengambil alih percakapan diantara kita. Tanpa meninggalkan kesimpulan yang sedikit memberikan ketenangan. Seakan kita yang saat ini telah berhasil bertahan dari kerasnya masa lalu, dipaksa kembali untuk menikmati diorama kehilangan.

Malam itu, bir dingin menjadi selimut atas kalutnya semua perasaanmu.
Melihatmu merayakan penyesalan, aku masih menyimpan iba yang berusaha keras aku redam, bahwa ini hanyalah cukup menjadi iba, janganlah ia beranjak lagi menjadi seonggok rasa.

Kebetulan bertemu denganmu, kupilih malam itu untuk duduk dan menemanimu. Merayakan penyesalan, kau tidak sendirian.
Setidaknya.

Kupesan minuman yang sama, sebotol bir dingin seperti punyamu, namun lebih pekat warnanya–hitam.
Sebenarnya ada begitu banyak hitam dikepalaku yang belum sepenuhnya putih, kebanyakan masih tentang dirimu juga di masa lalu.

Aku memilih bertahan. Tetap tegar menjadi sandaran–meski kita tidak duduk bersebelahan, serta pendengar yang baik bagimu malam itu.

Mendengarkan tiap-tiap larik-larik yang kau nyanyikan. Semacam kaset pita yang berisikan lagu lama, berbungkus senyuman palsumu, di depannya.
Lirik serta nada lagu sudah kita pahami semua nyanyiannya, serta akhirannya.

Dengan kau peluk, serta begitu eratnya kau kecup botol bir itu, seluruhnya tertuang disana dengan penjelasan yang cukup. Bekas gincu, rembesan air matamu, umpatan tentang semu dan segala ketiadaan aku semuanya membeku malam itu, disajikan instan diatas meja, tepat dihadapan kita berdua, sepasang botol bir yang bertukar senyum dan segala tanya pada masing-masing dada.

Matamu sembab, sementara aku terus menahan kedua tangan ini untuk mengusap.
Menahan agar tidak ada lagi perasaan yang tumbuh karena iba yang menyalami tangan dan perasaan untuk kali pertama–pada pertemuan kesekian kalinya.
Menahan agar tidak ada lagi patah yang kembali merekah karena kesalahan-kesalahan yang sama pula.
Menahan, agar kau dan aku tidak menyatu menjadi kita dan mengulang kebodohan yang sama, nantinya.

Kita, akan dewasa pada akhirnya oleh masing-masing lara yang kita tancapkan sendiri.
Komitmen di awal jumpa berakhir menjadi insiden di akhir cerita. Tidak mengapa, hidup masih mengajarkan perihal benar dan salah, sakit dan sembuh, pada akhirnya.

Setelah jawaban benar dan salah itu membuka mata, saat terpahitnya adalah melewati proses sakit menuju sembuh.
Aku sudah melalui itu, dan aku menjaga agar ia tak kambuh, karenamu.

Dan semoga, kudoakan malam ini, setelah pertemuan kita, segala laramu runtuh, jatuh, serta senyummu kembali utuh.

Bertahanlah. Kuatlah.
Lara itu mendewasakan.
atas kita, yang masih kekanak-kanakan.

Batam, Sept 2017
Muhammad Farid & Wahyu Syahrizal

Sajak LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang