8 - Ocho

19.1K 1.2K 14
                                    

"Try this one," kata Atha sambil menunjuk salah satu gaun. Keduanya sedang memilih gaun yang akan dipakai di pesta pernikahan Saka yang akan diadakan empat bulan lagi.

Marvella membelalakkan matanya saat melihat gaun yang dipilih oleh saudara tirinya itu. "You are crazy, Tha. Bagian punggungnya terlalu terbuka." Marvella kemudian menerima gaun itu dari tangan Atha. Gaun yang ditunjukkan oleh Atha adalah gaun hitam dengan belahan dada yang rendah, tanpa lengan, dan bagian punggungnya terbuka nyaris sampai pinggang.

"Aku tidak mungkin dan tidak akan memilih ini," kata Marvella kepada Atha.

Atha mengedikkan bahunya acuh. "Bagus dong. Nadine akan merasa kalah dan lo jadi pusat perhatian."

"I don't want to make a mess."

"Siapa yang bikin keributan, duh. You just will showed something different."

Marvella mengabaikan Atha dan memilih mencari gaun yang lain. Beberapa menit kemudian, perhatiannya tertuju kepada sebuah gaun malam panjang dengan tule lipit dan aksen lace pada bagian pinggang. Berbeda sekali dengan gaun pertama yang diusulkan oleh Atha tadi.

"Kalau ini bagaimana?" tanya Marvella.

Atha menyilangkan tangannya didepan dada setelah ia melihat gaun yang ditunjukkan oleh Marvella. "Literally, I don't like pink peach. Kamu suka?"

"Iya," jawab Marvella dengan singkat.

"Kamu akan terlihat cantik jika memakai apa yang kamu suka. Try that."

Dua puluh menit kemudian Marvella keluar dari ruang pas dan memperlihatkan gaun yang sudah ia pakai kepada Atha. "Bagaimana?"

"Cantik," kata Atha dengan jujur. "Sayang Mama tidak ikut bersama kita."

Marvella melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku masih mempunyai waktu sampai tiga jam kedepan. Dimana gaun kamu ?"

Atha yang sudah mencanangkan hari ini untuk menemani Marvella membeli gaun hanya tersenyum pahit. "Sudah ada di rumah. Kali ini, Oma yang meminta Renata untuk menyiapkan gaun – gaun yang akan kupakai di pesta nanti. Oma benar- benar memastikan aku untuk datang walau aku tidak menyukai pernikahan mereka."

"Kalau aku adalah Grams aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Tapi kamu bukan Oma."

Marvella mengangkat bahunya. "I know."

"Let's talk about guy who are dating with you."

"Aku tidak berkencan."

Atha yang sedang duduk di sofa dan melihat Marvella bercermin hanya memutar bola matanya. "Dalam kamusku dan kamus Mama itu disebut kencan."

"Dalam kamusku ini disebut cara untuk membuat Mama senang."

Melihat Marvella yang tetap tidak memberitahunya, Atha kemudian menyerah. "It's fine kalau kamu tidak mau menjawabnya. Dia akan datang malam ini, kan? Let's see what happens tonight."

___

"Kalau mau cepat pakai taksi, Nad," balas Denya kepada Nadine yang menggerutu di sampingnya.

"Lagipula dimana tunangan lo? Supir kalian tidak ada sampai harus merepotkan gue?" tanya Denya. Sore ini ia sedang bermain billiard dengan teman – temannya sampai Nadine meminta dirinya untuk mengantar ke rumah Tjahjadi untuk makan malam bersama.

"Buang – buang waktu meminta Pak Mali jemput gue. Kan ada lo, Nya."

"Yes, sampai gue harus rela meninggalkan billiard."

"Gue lebih bermanfaat daripada billiard."

Denya kemudian melihat waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuannya melalui navigasi. "Jangan telepon ke ponsel gue, Nad. I will turn off it so you can't bother me."

"Nggak, Nya. Gue pulang sama Saka," jawab Nadine sembari kembali memoles bibirnya dengan lipstick yang ia bawa.

"Akhirnya tunangan lo ada manfaatnya."

Malam ini Nadine akan mengikuti acara makan malam di keluarga Tjahjadi. Sejak satu minggu yang lalu, Saka pergi ke Australia untuk pekerjaannya dan mereka berjanji untuk saling bertemu di rumah Tjahjadi Namun, Nadine menolak ketika supir mereka, Pak Mali, untuk menjemputnya yang sedang melakukan rekaman variety show di sebuah studio stasiun televisi.

"Nina – manajer lo, untuk apa lo menggaji mereka jika lo sendiri nantinya hanya terus merepotkan gue?"

"Berisik deh, Nya. Gue hanya nyaman sama lo."

"Kalau nyaman sama gue harusnya ya lo nikah sama gue, Nad. But in here, sampai seratus tahun ke depan juga gue nggak mau nikah sama lo."

Nadine mendorong pelan bahu Denya karena pria itu sedang menyetir. "Berisik lo, Nya. Lo kira gue mau nikah sama lo?"

Denya segera melajukan mobilnya dengan pelan begitu pagar rumah Tjahjadi terbuka. Ia menghentikan mobilnya didepan pintu utama rumah ini. Nadine segera membuka pintu dan keluar dari mobil itu. Sebelum ia naik ke tangga teras, ia melambaikan tangannya kepada Denya yang masih mencengkeram setir.

"Inget, Nad. Jangan telepon gue lagi untuk malam ini," kata Denya saat Nadine melambaikan tangannya.

Nadine memutar bola matanya. "Thanks, Nya."

___

RécrireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang