62 - Sesenta Y Dos

9.4K 679 25
                                    

"Maserati?"

Arletta Dwija, siswi tingkat dua di Maria Stella yang sedang duduk di salah satu bangku kafetaria mengangguk. Ia mengajak teman-temannya untuk mendengarkan berita terbaru darinya. "Yang terbaru."

"Tumben sekali?" tanya salah satu dari mereka. "Biasanya antar-jemput, kan?"

Arletta lebih mementingkan reaksi temannya yang lain, ia tersenyum puas saat perempuan disampingnya memekik tertahan. "Gila, cool banget. Gue ingin jadi pacarnya!" ucap salah satu dari mereka berempat.

Arletta menggelengkan kepalanya karena temannya baru saja mengatakan sebuah lelucon. Hari ini, demi mendapatkan kabar terbaru dari Askari Tanuwidjaja ia rela berdiri dan menunggu di gerbang sekolah hanya untuk melihat mobil apa yang dipakai lelaki itu hari ini. Rasa lelahnya menunggu tadi pagi terpuaskan saat ia bisa bercerita dan menjadi pusat perhatian didepan teman-temannya. "Aku jadi penasaran siapa teman sebangkunya."

Arletta memanyunkan bibirnya karena ia tahu jawabannya. "Marvella Tjahjadi adalah anak yang duduk di sampingnya, guys."

"Marvella? Gue tidak kenal dia."

"Kita yang terlalu sering bergosip disini atau Marvella yang memang tidak terkenal?"

"Lo yang memang tidak mengenalnya," kata Arletta. "Marvella adalah cucu pertama keluarga Tjahjadi dan – maybe dua atau tiga tahun yang lalu ada pemberitaan tentang keluarga Tjahjadi yang mengangkat anak. Sangat heboh."

"Gue tidak tahu."

"Gue juga."

Arletta kembali berkata, "Dan gue tahu, guys."

Pembicaraan mereka teralihkan begitu saja dan keempatnya lebih penasaran dengan perempuan yang duduk sebangku dengan Saka. "Seperti apa Marvella? Sangat cantik atau biasa saja?"

"If you want to know, minggu lalu dia menang – mendapat medali emas untuk kontes biola. Remember about the ceremony one week ago?"

Tidak ada dari mereka berempat yang mengeluarkan suara karena sibuk mengingat-ingat siapa yang Arletta maksud. Perempuan di samping Arletta kemudian sedikit mengetuk lebih keras meja persegi diantara mereka, "Yang itu?"

"Si rambut panjang?!" Arletta mengangguk dan menyesap jus apel yang ia beli di cafetaria.

"Ouch, hati gue patah," balas temannya sambil memegang dadanya seolah-olah hatinya benar-benar sakit. "Well, ternyata Marvella yang lo maksud adalah itu – sangat cantik dan terlihat seperti siswa pintar. Karena gue tidak mungkin bersaing dengan dia gue akan menjadi fans Askari saja," ucapnya.

"Die hard fans, maksud lo? Berapa banyak surat yang lo taruh di lokernya hari ini?"

Temannya tertawa pelan. "Tiga. Nanti pulang sekolah gue akan membuatnya menjadi empat."

Arletta sangat senang ketika ia berhasil seperti biasanya, menceritakan hal terbaru tentang Askari Tanuwidjaja. Namun rasa senang itu hanya bertahan sesaat karena satu hal yang terus mengganggu pikirannya. Ia menopangkan dagunya ke meja dan bergumam kepada dirinya sendiri. "Beruntungnya Marvella."

Sementara itu, laki laki yang mereka bicarakan terlihat sedang berjalan menuju ruang musik yang berada di samping hall utama sekolah mereka. Saka berjalan dengan cepat dan mengabaikan orang-orang yang menatapnya secara terang-terangan. Sesampainya didepan pintu ruang musik itu, samar-samar ia mendengar alunan biola dari dalamnya. Saka membuka pintu ruangan itu setelah mengetuknya dan mendapati perempuan yang ia cari sedang berdiri sembari memainkan biolanya.

Saka menunggu perempuan itu hingga selesai memainkan Canon in D Major (1). Dalam seminggu ini, ia sudah berkali-kali melihat Marvella berlatih lagu yang akan ditampilkannya hari ini. Saka kemudian memilih untuk duduk di salah satu bangku sembari menunggunya. Setelah Marvella menyelesaikan nada terakhirnya, ia segera bertanya kepada perempuan itu. "Aku dengar hari ini kamu membuat cookies. Kenapa yang sekarang kamu bawa adalah biola bukannya cookies yang harus kamu bagi ke aku? "

RécrireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang