"Maafkan saya - "
"Latisha, it's fine. Dokter sudah menanganinya dan Marvella baik-baik saja. Terima kasih sudah membawanya ke rumah sakit, Latisha."
Latisha mendongakkan kepalanya dan Kanianatha tersenyum saat melihatnya. "Sha, kamu tahu kan kalau Marvella selalu berpikiran positif? We can do it, aku sudah berbicara dengan dokternya dan itu adalah demam biasa. Marvella kelelahan beberapa hari terakhir karena pekerjaannya, jadi bisa saja Marvella sakit karena itu."
Kanianatha kemudian kembali memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas. Satu jam lalu, Latisha meneleponnya dengan ponsel Marvella dan ia harus menenangkan wanita itu agar berbicara dengan tenang dan jelas. Butuh tiga menit untuknya memahami apa yang dikatakan Latisha. Atha kemudian meninggalkan pekerjaannya karena ia masih di kantor Dic'I dan segera menyusul ke rumah sakit dimana Marvella dibawa.
Empat puluh menit kemudian ketika ia sampai di rumah sakit, Marvella sudah sadar dan hampir membuat Atha panik saat tahu Marvella jatuh dari tangga. Setelah mendengar penjelasan dari dokter yang menangani Marvella, ia bersyukur setidaknya Marvella tidak mengalami cedera tangan atau kaki karena jatuh dari tangga. Latisha berada di belakang wanita itu dan dengan sigap menerima tubuh Marvella yang limbung meski Latisha sendiri pada akhirnya jatuh juga.
"Tangan atau kaki kamu ada yang sakit?" tanya Atha kepada Latisha untuk memastikan keadaannya.
"Saya tidak apa-apa, Non."
Latisha kembali menyesal, "Harusnya saya benar-benar membawa Nona Marvella pergi ke rumah sakit."
Atha menjawabnya untuk menenangkan wanita yang ada didepannya, "Latisha, kita sudah berada di rumah sakit. Marvella benar-benar sudah stabil, aku bisa menjaminnya. Yang ingin aku tanyakan sekarang adalah kamu tahu dimana Saka berada sekarang?"
Latisha mengerjapkan matanya, "Bapak sedang di Paris."
"Di Paris?" tanya Atha sembari mengerutkan keningnya. "Apa dia tahu kalau Marvella sedang sakit? Kamu sudah memberi tahu Saka kalau Marvella sedang dirawat di rumah sakit?"
"Belum."
"Kenapa belum? Dia masih di pesawat?" tanya Atha untuk yang kedua kalinya.
"Saya tidak tahu, Non Atha."
"Jam berapa berangkatnya, Latisha?"
Latisha menjawabnya, "Jam tiga pagi beliau berangkat dengan sekretarisnya, Non."
Atha mengeluarkan ponselnya lagi. "Terima kasih, Latisha. Sementara aku mengurus administrasinya – bisa kamu temani Marvella didalam?"
"Baik, Non."
"Terima kasih, Latisha." Atha kemudian beranjak pergi dari koridor itu menuju suatu tempat yang sepi. Ia sangat mengenal Saka – pria itu adalah kakaknya. Seseorang seperti Saka pasti memakai pesawat pribadinya sendiri jika ia melakukan perjalanan dengan jarak yang jauh. Oleh karena itu ia tidak khawatir jika menelepon pria itu – fasilitas di pesawat itu memungkinkan untuk menerima telepon.
Atha menggeram kesal saat panggilannya tidak diangkat – ia sudah melakukan hal yang sama sebanyak tiga kali dan tidak satupun panggilannya diangkat oleh Saka. Ia kemudian teringat kepada permintaan aneh Marvella setelah wanita itu melakukan tes darah. Marvella lebih banyak diam dan hanya tersenyum saat Latisha izin menunggu diluar. Atha sampai harus berkali-kali bertanya tentang keadaan tangan Marvella yang bisa saja terkilir.
"Kalau tanganku terkilir dokter akan tahu dan tanganku pasti sakit, Atha. I'm fine, it's just a fever."
Marvella menahan tangan Atha saat tahu saudara perempuannya itu bertanya tentang Saka. "Don't call him."
"Kenapa?" tanya Atha dengan kening berkerut tidak mengerti.
"Jangan," bisik Marvella dan wanita itu enggan membicarakannya lagi.
___
Saka memasuki suite di hotel yang ia tempati. Ia baru saja melakukan pertemuan kedua dengan Tristian Chartier dan mereka baru menyelesaikannya dua jam yang lalu. Saka segera duduk di sofa berwarna krem dan meluruskan kakinya. Setelah sampai di Paris kemarin, ia langsung pergi ke Hôtel Matignon dimana kantor Perdana Menteri berada dan melangsungkan meeting yang cukup lama mengenai proyeknya.
"Darek, tolong datang ke kamarku jam enam pagi."
"Ya, Sir."
"Dan ingatkan saya untuk video call Gita, Darek."
"Baik, Sir. Apa Anda ingin makan?" tawar Darek.
Saka menggeleng. Ia menyingkirkan brosur La Parissiane di salah satu meja dan meletakkan Ipadnya disana. "Tidak."
Darek Iram terdiam beberapa saat. Ia merasa tidak baik–baik saja sebelum meminta maaf, sebuah rasa janggal muncul dihatinya. Ia memutuskan untuk melakukannya, "Sir?"
Saka menoleh menatap Darek yang masih berdiri di dekat sofa. " Ada apa?"
"Sir, saya minta maaf tentang telepon dari Latisha kemarin."
Saka menatapnya tajam setelah ia mengerti arah pembicaraan mereka. "Darek, saya tidak membayar kamu untuk mengabari istri saya."
"Sir, beliau adalah istri Anda. Menurut saya - "
"Sejak kapan pendapat kamu tentang rumah tangga saya menjadi penting?"
Darek terdiam untuk beberapa saat. "Sir, saya benar – benar minta maaf, tetapi menelepon istri Anda bukan sebuah kesalahan."
"Darek, sepertinya kamu tidak paham," kata Saka. Ia menatap tajam Darek, "Menikah dengannya adalah sebuah kesalahan."
"Karena kamu seharusnya tahu, Darek. Ketika saya menikah dengannya – ikatan ini hanya ada di antara kami tanpa harus mendaftarkannya ke negara - " Saka menghentikan kata-katanya. Ia menggeleng frustasi dan memutuskan untuk tidak memikirkan masalah ini dan lebih memilih untuk membersihkan badannya setelah agenda yang padat hari ini.
"Saya ingin istirahat, Darek. Jangan lupa permintaan saya untuk besok," kata Saka dan ia berjalan menuju kamarnya.
___
![](https://img.wattpad.com/cover/203420781-288-k239992.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Récrire
ChickLitRécrire | Galaxy's Series #2 ©2019 Grenatalie. Seluruh hak cipta.