80 - Ochenta

10.5K 626 67
                                    

Benedict Canale tetap berdiri di tempatnya karena ia sudah berjanji untuk menunggu Marvella, pasangannya di pesta malam ini yang pamit pergi ke toilet. Hingga ia menunggu tiga puluh menit tidak ada tanda-tanda Marvella kembali. Ia berniat mencari perempuan itu namun ponsel yang ada dikantong celananya bergetar tanda ada panggilan masuk, Benedict mengerutkan keningnya saat tahu Marvella menelponnya. "Marvella? Lo dimana?" tanya Benedict saat ia mengangkat panggilan dari Marvella.

"Diluar – aku pulang dulu ya, Ben."

"Kenapa pulang? Tunggu - "

Marvella yang sudah berdiri di depan lobby sekolah yang hari itu dihiasi bermacam kertas yang indah memotong kalimat Benedict. "Aku dijemput kok, Ben. Badanku tidak enak, tenggorokanku sakit, mungkin aku demam."

Benedict keluar dari hall Maria Stella sambil tetap menempelkan ponselnya ke telinga. "Lo dimana, Marvella? Biar gue yang antar lo pulang."

Marvella memejamkan matanya cukup lama sebelum ia membuka lagi. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan setelah apa yang Arletta lakukan kepadanya. "Sopirku sudah datang, maaf ya Ben karena tidak bisa menemani kamu sampai pestanya selesai."

Benedict menghentikan langkahnya, "Sopir kamu sudah datang?"

"Sudah datang – enjoy this night ya, Ben." Marvella memutuskan panggilan itu secara sepihak dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia duduk di kursi yang ada disana sambil menopang dagunya. Mustahil sopirnya datang hanya dalam lima menit setelah ia mengirimkan pesan untuk meminta dijemput – yang keluarganya tahu adalah ia pergi dan pulang bersama Benedict. Ia hanya tidak ingin Benedict melihat pipinya yang berwarna merah dengan bekas telapak tangan masih terlihat disana. Kembali ke hall adalah ide buruk dan ia sendiri sudah tidak berminat dengan pesta ini lagi.

So sad, pikirnya sambil meraba pipinya yang sekarang terasa kebas karena tamparan Arletta. Ia sekarang membencinya – ia pikir Arletta berbeda dengan fans Saka yang lainnya, gadis itu tidak membahas Saka di minggu awal mereka saling mengenal dan Marvella menyesal memberikan penilaian terlalu cepat kepada Arletta.

Marvella menghentikan lamunannya saat ponselnya bergetar dan menampilkan pop-up pesan terbaru.

Askari Tanuwidjaja : Katanya kamu datang dengan Ben, tapi aku lihat dia sendirian.

Askari Tanuwidjaja : Kamu dimana?

Marvella Tjahjadi : Kamu datang dengan siapa?

Askari Tanuwidjaja : Dengan Leon, siapa lagi? Kamu tidak mau datang dengan aku dan Leon baru putus dengan pacarnya. Jadi aku datang dengan dia dan kami saling menggandeng tangan satu sama lain.

Marvella tertawa begitu saja saat ia membayangkan apa yang Askari katakan kepadanya. Ia tertawa begitu lepas dan tidak memedulikan dua satpam yang melihatnya dengan terheran-heran dari depan lobi.

Askari Tanuwidjaja : Kamu tidak mau lihat kami?

Marvella Tjahjadi : Aku sudah pulang, besok aku lihat dan tanyakan kepada temanku yang memfoto kamu saja.

Askari Tanuwidjaja : Kenapa kamu pulang?

Askari Tanuwidjaja : Aku belum lihat apa yang kamu pakai malam ini.

Marvella menjauhkan ponselnya dan ia menatap gaun putih sederhana yang ia pakai. Ia tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan gaunnya – ia tahu kalau ia tidak lebih hebat dari adiknya, Kanianatha untuk urusan seperti ini. Butuh waktu beberapa saat untuknya merangkai kata-kata yang pas sebelum ia membalas pesan Saka.

Marvella Tjahjadi : Aku pakai gaun putih yang ada rendanya. Kamu?

Askari Tanuwidjaja : Kemeja dan dasi panjang sementara Leon sengaja memakai dasi kupu-kupu. Kita berdua belum foto, kenapa kamu pulang?

RécrireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang