63 - Sesenta Y Tres

10K 654 51
                                        

Montreal, Kanada.

Denya Saputra bergeser ke kanan untuk memberi jalan kepada seorang wanita muda yang berpapasan dengannya. Ia sedang berada di swalayan untuk membeli bahan makanan – menggantikan Isabel Cohen yang hari itu tidak bisa keluar rumah karena sakit pinggang yang dideritanya. Denya mengangkat keranjang belanjanya yang mulai terisi penuh, ia belum membeli daging dan berdecak saat menyadari hal itu. Saat ia melewati rak berisi bumbu makanan, ponselnya berdering. Susah payah Denya memindahkan keranjang belanjaannya ke tangan kiri karena ponselnya ada di saku celana kanannya. Koridor antar rak di swalayan itu sempit – ia tidak bisa menaruh keranjang belanjanya di lantai karena itu akan menghalangi jalan, butuh waktu untuknya mengambil ponsel yang berdering itu dan ia tertegun melihat siapa yang menelponnya.

Denya ragu dan untuk beberapa saat ia hanya memandangi layar ponselnya. Ia kemudian mengangkat panggilan, "Halo, Papa."

Terry yang sudah menunggu cukup lama kemudian lega saat Denya mengangkat teleponnya. "Pagi, Denya."

"Di Singapura sedang sore ya, Pa. Papa apa kabar?"

"Papa baik, Denya. Kamu sendiri?"

Denya menelan ludahnya dengan susah payah. "I'm good, Pa."

Terry yang sedang duduk di kursinya ikut tersenyum tipis saat mendengar kabar Denya, ia sedang berada di ruang kerja pribadi untuk menelpon Denya agar istrinya tidak mendengar pembicaraan ini. "Denya, Papa menelpon kamu tidak hanya untuk bertanya tentang kabar kamu."

Denya tahu apa yang ingin dibicarakan ayahnya. "Ya, Papa."

"Pulang, Nak."

Tidak ada jawaban dari Denya, jadi Terry terus melanjutkan. "Papa menunggu kamu, Mama juga. Kita semua menunggu kamu pulang dan kenapa kamu masih tetap disana?"

"...."

Terry berdeham dua kali, "Papa sudah tua, Denya."

" .... "

"Papa ingin istirahat dan kamu – bahkan perusahaan kamu di Surabaya sampai sekarang masih diambil alih oleh adik kamu, apa kamu tidak kasihan kepada kami?"

"Papa sudah memberi waktu untuk kamu dengan kelebihan satu bulan – apa Nadine tetap tidak mau menikah dengan kamu? Apa dia masih tetap pada keputusannya untuk menanggung sendiri anak kalian? Then leave her."

Rahang Denya mengeras saat mendengr kata-kata dari Papanya sendiri. "Yang sedang bicarakan adalah cucu Papa sendiri."

"Dan Papa sedang membicarakan masa depan kamu, Denya. Papa tahu kamu mencintainya dan ingin bertanggung jawab tentang kehamilan Nadine, tetapi Papa juga ingin kamu sadar dengan tanggung jawab kamu – bukannya Papa sudah memberi kelonggaran tentang pemindahan posisi ini? Firma ini semakin besar karena investasi yang baru saja kita dapatkan dan seharusnya kamu berdiri disini memimpinnya."

"...."

Terry menghela napas panjang. "Mimpi kamu adalah membuat firma ini menjadi maju, Denya."

"Papa dan Mama sudah tua – ingin menikmati sisa waktu kami dan Papa sudah mempersiapkan kamu cukup lama, kenapa sekarang kamu tidak bertanggung jawab?"

"Pa, aku sedang bertanggung jawab – one by one."

"Select one, Denya. Hidup terkadang membuat kita mengorban satu pilihan untuk pilihan lainnya."

Terry tidak memberi kesempatan Denya untuk membantah setiap kata-katanya. Ia sudah memberi waktu yang cukup untuk Denya menyelesaikan masalahnya sendiri dan untuknya, ini sudah melewati batas perjanjian. "Papa akan memberi waktu untuk kamu dua hari untuk pulang, Denya. That's enough what you've been doing all this time – lakukan kewajiban kamu sebagai Denya Saputra," kata Terry sebelum ia menutup panggilan itu.

RécrireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang