Iliona Tjahjadi memiliki rumah - atau beberapa orang akan menyebutnya sebagai istana kecil - berlantai empat dengan puluhan kamar didalamnya. Rumah dengan dominasi warna putih itu tentu tidak ditempati oleh dirinya saja, dengan agendanya yang seringkali harus pergi ke beberapa negara, minimal sebulan sekali ia akan berada di rumah itu untuk menghabiskan waktunya dan biasanya cucu-cucunya akan menginap. Malam ini, rumah itu tampak lebih ramai dari biasanya karena keluarga besarnya, akan makan malam bersama sekaligus merayakan kehamilan dari salah satu menantunya, Megan Katja Tjahjadi yang sedang mengandung anak keempat.
Marvella yang datang sendirian dari apartmennya menyadari tidak hanya keluarga besarnya yang datang - ia bisa melihat tunangan Mario, kakak Chalondra, dan mantan tunangan dari adiknya sendiri, Raditya Tjokro yang datang bersama seorang wanita yang baru ia lihat untuk pertama kalinya malam itu. Seakan-akan ingin menyaingi mantan tunangannya, Marvella tidak bisa berkata-kata ketika adiknya, Kanianatha juga datang dengan seorang pria yang tidak ia kenal dan memperkenalkan dirinya sendiri kepada Marvella saat ketiganya bertemu di ruang tamu, Oskar Sjahran.
Tapi Marvella tidak tertarik dengan mereka, ia meneruskan langkahnya untuk ke lift rumah yang nanti akan membawanya ke ruang perpustakaan yang ada di lantai dua. Raphael Tjahjadi, ayahnya sudah menunggu kedatangannya dan tampak letih saat Marvella melihat wajah ayahnya. Ia tahu ayahnya baru mendengar kabar perceraiannya dengan Saka dan baru bisa bertemu dengannya sekarang.
Raphael tentu tidak ingin membicarakan ini di rumah orangtuanya sendiri, tetapi ia harus segera berbicara dengan Marvella sebelum anak perempuannya itu kembali menghindar.
"Papa tahu Atha datang bersama dengan pria baru?"
Raphael mengerutkan dahinya. "Tidak – Papa tidak tahu. Let's talk about that later, nanti Papa akan berbicara dengannya. Papa dengar dari Theo kamu mengajukan gugatan cerai, Marvella."
"Ya."
"Ya?" Raphael kembali mengerutkan dahinya dan tidak mengerti kenapa putrinya terlihat tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. "Hanya 'Ya?' Mama kamu menangis karena kamu tidak mau pulang ke rumah, Nak."
Marvella yang hari itu memakai gaun hitam sederhana berbicara lebih lunak kepada ayahnya. "Aku tinggal di apartmen, bukannya itu jelas? Harina membantuku, jadi aku tidak sendirian disana."
"Setidaknya jelaskan semuanya untuk membuat kami mengerti, Marvella."
"Ya, tidak ada lagi. Aku bercerai. End of story."
Raphael memejamkan matanya dan ia berusaha bersabar, entah kenapa kali ini berbicara dengan Marvella begitu sulit. "Papa yakin keputusan – juga alasan – Papa menambah waktu yang kamu inginkan menjadi enam tahun tidak untuk mendengar jawaban seperti ini."
" .... "
"Kamu ingin menyelesaikan perasaan kamu ke Saka setelah bertahun-tahun hanya bisa melihat dia, bukan? Then you marry him, you did it–"
"Yes, I did it. Tapi kami sudah tidak menginginkan satu sama lain," potong Marvella karena ia tidak yakin bisa melewati pembicaraan ini dengan ayahnya.
"Talking and listening to each other is better when you two are very stubborn. Tidak ada pernikahan yang baik-baik saja, Nak. Selalu ada batu didalamnya–"
"Kami melewati bersama kok, Pa. Hanya, kalau kisah lain berlanjut dengan terus berjalan setelah melewati batunya, we stop."
...
Raphael kembali berkata kepada Marvella, "Papa sudah mengatakan kalau pernikahan adalah long-life choice, apa kalian bermain-main dengan restu yang Papa berikan?"
Marvella menggeleng, "Tidak, Pa."
"Lalu?"
"Long-life choice – bercerai untuk kebahagiaan."
"Kamu bahagia?" tanya Raphael karena ia tahu ada yang salah.
... "Ya."
Marvella melirik jam tangannya, "Lagipula berkasnya sudah masuk ke pengadilan, Pa. Kami akan memastikan kalau ini akan berlangsung dengan cepat, sidangnya. Maaf kalau keputusanku dan keputusan Saka mengecewakan kalian. Let's talk to Mama after we go home."
Raphael menangkap keanehan dari putrinya yang terlihat kosong. "Kamu baik-baik saja, Nak?"
Marvella tersenyum, "I'm okay, Pa."
_____
Satu tahun kemudian,
Sydney, Australia."Aria."
Marvella sedikit menurunkan tubuhnya agar ia sejajar dengan sepupunya ini. "Karena Mama kamu sudah berangkat, let's make our rules dan kalau kamu tetap menaati semuanya, aku dan Raymond nanti akan memberikan kamu es krim nanti."
Aria tahu sudah terlalu besar baginya mendapat bujukan es krim seperti kata Marvella, tetapi ia membiarkannya. "Kata Kak Ireen kalau di Sydney kita bisa ke Pitt Mall, ada café bar yang terkenal disana."
Ya Tuhan, apa yang diajarkan si kembar ke adiknya? Marvella terpaku karena perempuan kecil berusia delapan tahun didepannya. "Kita akan kesana sepuluh atau lima belas tahun lagi, Aria."
"Setidaknya ayo main ke taman," tanya Aria dengan sedikit memohon karena ia ingat kalau dua minggu kemarin ia bersusah payah menyelesaikan ujiannya. "Aku tidak mau ke pantai, summer terlalu panas."
"Ya, kita akan ke taman, you can bring your roller skates and play there. Setelah itu makan - we need culinary tour - "
Aria yang sedang membiarkan Marvella mengucir kuda rambutnya membalas, "Yang suka makan Kak Marvella."
"Human like eat, Aria." Bersamaan dengan Marvella yang mengatakan itu, terdengar pintu apartmennya yang membuka dan seorang pria jangkung dengan kaos polo berwarna abu-abu muncul.
"Marvella."
Marvella tersenyum bagaimana pria itu memanggil namanya, ia kemudian menoleh ke sepupunya. "Aria, say hi to Raymond."
James Raymond Wickham yang mengenal Marvella melalui ayahnya karena keterlibatan dalam pembangunan gedung dengan Tjahjadi's Properties sejak delapan bulan yang lalu kemudian mengulurkan tangannya ke gadis kecil didepannya. "What a beautiful girl, namaku Raymond."
"Aria."
Raymond tersenyum, "Kamu lebih tinggi dari yang kubayangkan, Aria. Marvella bilang tinggi kamu hanya sepinggangnya, what I see right now is different."
Aria tertawa kecil karena ia malu, "Kak Marsha mengajari aku lompat tali dan roller skates."
"Great, itu mungkin sebabnya kamu sekarang lebih tinggi dari yang seharusnya."
Raymond berdiri dan ia menatap kedua perempuan didepannya, "Kalian sudah siap?"
"Kak Raymond ikut?" tanya Aria sambil berjalan ke arah pintu karena Marvella sudah memberinya tanda untuk keluar.
Raymond mengangguk, "Aku sopir dan pemandu kalian hari ini."
"So we can go to café bar di Pity Mall?"
"Aria," panggil Marvella dengan sabar dan ia mendapat ringisan dari Aria, "Bercanda Kak Ella."
Keduanya kemudian masuk ke lift dan berdiri bertiga disana–tidak ada orang lain membuat Raymond mendekatkan wajahnya ke Marvella dan berbicara dengan suara pelan, "You look beautiful as usual, Marvella."
"Gombal, aku masih sama."
"Hei," Raymond yang memang lebih tinggi dari Marvella kemudian menundukkan kepalanya untuk mengecup bibir Marvella selagi Aria tidak melihat mereka. "The most beautiful woman I have seen, kamu bertambah cantik dari hari ke hari."
_____
(1) The Pitt Street Mall terletak di tengah kawasan pusat bisnis Sydney yang ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Récrire
Chick-LitRécrire | Galaxy's Series #2 ©2019 Grenatalie. Seluruh hak cipta.