Sydney, Australia. Dua minggu kemudian,
Marvella segera berbicara ketika panggilannya tersambung, "Lama-lama ruanganku berubah menjadi toko bunga."
"You don't like it?"
Marvella mengerutkan dahinya saat ia bisa mendengar orang yang sedang melakukan panggilan dengannya tertawa. Ia menjawab, "Aku suka. Tapi aku tidak suka dengan kamu yang berlebihan."
"Berlebihan?"
Marvella mengangguk walau ia tahu orang yang sedang ia telepon tidak bisa melihatnya. Ia duduk dan merogoh kolong meja untuk mencari sandalnya, ia akan mengganti sepatu haknya dengan sandal biasa. "Too much. Membuang uang, bunga yang kamu kirim tidak bisa aku makan."
Marvella melepas blazernya dengan cepat dan menggantungkannya begitu saja di sandaran kursi yang ia duduki. Ia baru saja melakukan evaluasi bulanan bersama staffnya dan satu jam lagi waktunya istirahat siang – tidak ada hal lain yang ada dipikirannya selain menelepon seseorang ketika melihat sebuket bunga ada diatas mejanya, sama seperti dua minggu terakhir. Pengirim yang sama dan bunga yang sama. "Itu tanda dari kamu supaya aku mengirimkan makanan ya?" tanya lawan bicara Marvella.
Marvella memutar kursinya, "Smart – memang kamu tidak bisa memahami kode dari aku?"
"I'll try," Terdapat jeda beberapa saat. "Kamu ingin kita lunch dimana?"
"Setelah ini aku akan makan siang dengan staffku, what I want is late night dinner."
"Late night dinner? Sama seperti kamu yang berkeliling GBK untuk berburu kuliner?"
"Bedanya ini Sydney. Kita harus kemana? Hmm, wait let me search it."
Marvella mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan ia mengetikkan sesuatu di internet. Ia bergumam, "Pizza? Thai food? Quesadillas?"
"Perlu aku bantu?"
"Aku hanya cari di Oxford Street, kok." Marvella menambahkan. "Late dinner and midnight walks. Great combination."
"Kamu ingin kita melakukan keduanya?"
"Kamu tidak mau?" tanya balik Marvella.
"Aku mau asal bersama kamu," pria itu berdeham. "But you need to eat first, Marvella. You can continue your search after lunch."
"Tujuan aku menelepon kamu kan untuk marah-marah." Marvella menggelengkan kepalanya, "Please stop sending that, I prefer food than flowers."
"Ya, kalau begitu mulai besok aku kirimkan makanan. Please don't be mad for me, Marvella. I'm sorry."
Sebuah senyum tersungging di wajah Marvella, "Dimaafkan."
______
James Raymond Wickham menatap wanita yang tertidur di sebelahnya. Wanita yang ia cintai terlihat begitu pulas dengan sisa air mata yang mengering setelah menangis cukup lama. Ia membiarkan film yang diputar di televisi depannya dan memilih untuk menatap wajah Marvella yang begitu – lebih damai setelah pembicaraan mereka. Ia ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk menatap sebanyak mungkin wajah Marvella.
Raymond memainkan anak rambut Marvella. Bodoh, gumamnya kepada diri sendiri. Tidak seharusnya ia melepaskan wanita yang ia cintai begitu mudahnya. Tidak seharusnya ia menyerah dengan cepat, Wickham tidak pernah melepas sesuatu dengan mudah apa menjadi target mereka. Raymond berkali-kali memaki kepada dirinya sendiri saat ia menyadari dirinyalah yang sangat bodoh.
Marvella menggeliat pelan dan mengeluarkan erangan kecil, Raymond kemudian menggeser tubuh wanita itu agar bersandar kepadanya. Ditopangnya dengan hati-hati kepala Marvella, ia meletakkan sebuah bantal sofa di pangkuannya dan membaringkan tubuh Marvella dengan kepala di atas bantal itu. Raymond berusaha tenang untuk melakukan hal itu, walau ia tahu persentase Marvella bangun sangat kecil sejak wanita itu memejamkan matanya. Marvella susah untuk terbangun seramai apapun keadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Récrire
ChickLitRécrire | Galaxy's Series #2 ©2019 Grenatalie. Seluruh hak cipta.