Askari Tanuwidjaja hanya menunduk menatap lantai marmer rumah saat ia membuka sendiri pintu rumahnya, jam sudah menunjukkan angka sembilan dan ia benar-benar lelah karena jadwal rapatnya yang begitu banyak hari ini. Saka terus berjalan melewati foyer, ruang tamu, ruang tengah di lantai pertama, hingga ia menemukan sosok wanita yang sedang duduk di kursi tinggi di dapur.
Ia tidak lupa dengan jadwal Marvella yang kembali dari Sydney sore tadi. Saka tersenyum tipis saat mata mereka bertemu dan tidak berbicara untuk beberapa detik kedepan.
Saka kemudian memandangi wanita itu yang memakai piyama lengan pendek dengan boxer hitam yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Ia tahu Marvella sedang meminum teh malamnya – kebiasaan sebelum tidur – dan tersenyum begitu lebar kepadanya sebelum Marvella melambaikan tangan untuk menghampirinya. "How Sydney?" kata Saka sambil mendekat dan meletakkan tas kerjanya di atas kitchen island.
"Good." Marvella membiarkan Saka mengambil duduk disampingnya, "Maybe a little flat – tidak ada yang bisa aku ajak jalan-jalan disana."
"Sudah makan? Obatnya?"
Saka mengangguk, "Sudah."
Marvella meneguk tehnya sendiri dan memperhatikan bagaimana wajah lelah Saka didepannya. Pria itu sudah melepas jas dan menyisakan kemeja putih yang bagian lengannya digulung hingga tiga perempat. "Kamu mau teh? Peppermint?"
Saka mengangguk untuk kedua kalinya dan tanpa membuang waktu lagi Marvella berdiri untuk merebus air. Dibukanya laci atas yang sudah menjadi tempat khusus baginya untuk meletakkan berbagai jenis teh koleksi pribadinya yang ia pindah ke rumah ini setelah menikah dengan Saka. Marvella kemudian mengambil salah satu kotak dan mengeluarkan sebuah kantong teh.
Saka memperhatikan bagaimana Marvella memunggunginya dan bagaimana ia harus berulang kali tidak memandangi kaki jenjang Marvella. Ia berdeham untuk menghilangkan keheningan, "What is your dream, L?"
Marvella berbalik dan menemukan Saka yang sudah menatapnya terlebih dahulu. Ia menyandarkan salah satu tangannya ke atas counter. "Kan aku dulu sudah pernah bilang, keliling dunia dengan bebas."
"Tapi aku tidak tahu apa yang kamu maksud dengan bebas, L."
Marvella menuangkan air panas ke cangkir Saka dan mengaduknya. Ia kemudian meletakkan teh itu ke depan Saka dan kembali duduk di kursinya. "Bebas yang aku maksud adalah saat aku mengunjungi seluruh negara tanpa harus memikirkan hari apa aku harus kembali atau mencari-cari alasan apa yang bisa aku tawarkan untuk membujuk orang tuaku, Saka. As you know, aku cucu pertama dan mendapatkan nama belakang keluarga ini – just like you are in charge in Chata, I have responsibilities too."
"Well yes, we're thirty one. Tapi aku sangat menginginkan keadaan dimana aku tidak perlu terikat, which is that's a very-childish-mind."
" ... "
Saka tahu ia merindukan teh buatan wanita ini saat ia menyesap minuman itu. "It's not childish," tanggapnya dan itu membuat Marvella menatap matanya. "You have a dream – that's good, L."
"Aku punya privilege dan aku seharusnya bersyukur." Marvella terdiam sebelum akhirnya ia tertawa untuk menghilangkan keheningan di antara mereka. "Terima kasih, Sak. Sekarang aku jadi memikirkan ulang tentang semua ini – beban kamu mungkin lebih besar dari aku."
...
"Benar ya?"
"Kamu tahu sendiri jawabannya, L." Saka kemudian mengalihkan pembicaraan mereka, "Kenapa kamu belum tidur?"
"It's nine – masih terlalu 'sore' bagi aku. Aku menunggu kamu pulang – and you now in home. Mungkin kamu harus tidur setelah minum tehnya, Saka. I can see a big panda in front of me."
KAMU SEDANG MEMBACA
Récrire
Literatura FemininaRécrire | Galaxy's Series #2 ©2019 Grenatalie. Seluruh hak cipta.