Terhitung sudah dua minggu Keina dan Park Jimin menikah. Disetiap harinya mereka berdua selalu saja bertengkar. Bahkan hanya karena masalah sepeleh saja dapat membuat Keina uring-uringan dan mendiami Jimin selama seharian.
"Apa kau sudah selesai menstruasi. Aku harus menunggu berapa lama lagi hanya untuk mendapatkan jatahku?" tanya Jimin sembari melirik pada Keina yang sedang terduduk diatas ranjang sembari memainkan ponselnya.
Keina menghentikan acara memainkan ponselnya, ia menggigit bibir bawahnya lantaran merasa gugup saat ini. Sebenarnya ia telah selesai menstruasi sejak tiga hari yang lalu. Namun, ia tak mau mengatakannya pada Jimin. Sudah dipastikan Pria itu akan menagih malam pertamanya yang belum ia dapatkan sejak selesainya pernikahan mereka dua minggu yang lalu. Keina hanya belum siap saja, ada sedikit rasa takut yang menyelimuti hatinya. Mengingat Jimin adalah Pria yang begitu mesum. Takut-takut Jimin kebablasan dan berlaku kasar padanya. Bukankah saat pertama kali melakukannya akan merasakan sangat sakit yang luar biasa?.
"Belum." cicit Keina. Ia bahkan enggan menatap pada Jimin yang saat ini tengah berada disebelahnya.
"Sampai kapan? Saat itu kau bilang belum siap. Dan sekarang, kau hanya alasan saja kan? Mana ada menstruasi selama itu?"
Keina bungkam, nyatanya dia memang tak dapat mengelak lagi untuk saat ini. Ia sedikit menggeser tubuhnya ketika Jimin semakin mendekatkan diri padanya.
Jimin mengambil ponsel yang berada dalam genggaman sang Istri. Lalu menaruhnya diatas nakas, kembali mendekatkan dirinya pada Keina. Ia tahu jika masa menstruasi Keina telah usai dan Perempuan itu hanya berpura-pura masih mengalami menstruasi.
Jimin semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Keina, memberikan ciuman sekilas pada pipi sang Istri.
"Jimin." cicit Keina.
Jimin mencoba menulikan pendengarannya. Ia menarik tubuh Keina agar menghadap kearahnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Keina takut-takut.
"Membuat Anak, Park Keina. Kau ini kan Istriku."
Keina sontak menyilangkan tangan di dada, ia segera menjauhkan tubuhnya dari sang Suami. Namun buru-buru Jimin menariknya untuk kembali mendekat padanya.
"Aku suamimu. Apa kau lupa?" tanya Jimin yang merasa tersinggung karena sedari tadi Keina menolaknya. Bukan hanya sekali, tapi semenjak hari pertama mereka telah sah menjadi sepasang Suami Istri, Keina juga menolaknya. Mengatakan secara terang-terangan jika dirinya belum siap jika harus melakukannya. Padahal Jimin sudah sangat siap waktu itu. Dan ia harus menunggu berapa lama lagi agar Keina siap melakukannya.
Keina menggeleng, "A-aku hanya belum siap." ucapnya merasa sedikit canggung dengan situasi saat ini. Jimin menatapnya dengan tatapan yang begitu lekat.
"Lalu aku harus menunggu sampai kapan?" tanya Jimin mulai merasa kesal.
Keina menggeleng lantas berucap, "Aku tidak tahu."
Tolong ingatkan Keina jika Jimin adalah tipikal Pria yang tidak sabaran. Maka dari itu, ia segera menarik tengkuk sang Istri lantas membungkam mulutnya dengan bibir.
Tangan Keina bergerak menuju bahu Jimin dan mendorongnya kuat. Mencoba menjauhkan Jimin darinya, ia tak suka jika dipaksa seperti ini.
Tangan Jimin terulur untuk menyentuh lembut pipi kanan Keina. Mengusapnya pelan dengan manik yang menatap lekat, "Kau percaya padaku'kan. Semua akan baik-baik saja."
Keina terdiam, maniknya menatap pada mata Jimin yang saat ini juga tengah menatapnya, membuat mereka untuk sesaat saling mengisi pandang.
Melihat Keina yang tak lagi menolaknya, dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajah Keina. Menempelkan bibir keduanya dengan sangat hati-hati. Mencoba memperlakukan Park Keina selembut mungkin agar Istrinya merasa begitu nyaman.