Jimin dapat menghela napas lega saat jam istirahat kantor telah tiba. Dari pagi hingga siang, ia sibuk berkutat dengan banyak dokumen yang berada di atas meja kerjanya. Bagi Jimin, bekerja di kantor adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan dan banyak sekali menguras pikiran bahkan juga tenaga. Seketika ia jadi ingat dengan sang Ibu yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Seperti inikah sang Ibu biasanya. Bekerja seorang diri, membesarkan nama perusahaan yang ditinggalkan oleh mendiang sang Ayah sendirian. Saat itu Jimin tidak dapat membantu apapun, semenjak Ayahnya meninggal ia mengalami trauma yang begitu berat, sampai dirinya harus mengasingkan diri dari dunia luar. Jimin tidak pernah tahu perjuangan Ibunya guna membesarkannya seorang diri.
"Sajangnim ingin makan siang dengan apa siang ini?" tanya sang sekretaris pada Jimin yang kini masih terdiam di kursi kerjanya. Pria itu nampak sekali gusar, terlihat jelas pada raut wajahnya saat ini.
Jimin sedikit tersentak, bahkan ia tak menyadari jika kini sang sekretaris sudah berada di depan meja kerjanya dengan sebuah senyuman yang seperti biasanya.
Jimin belum sempat menjawab, ponsel miliknya yang berada di atas meja bergetar pertanda jika ada sebuah pesan yang masuk. Ia segera meraih ponselnya, membuka pesan yang dikirim oleh istrinya tersebut.
1 massage from Keina 😍😍
Hari ini aku tidak bisa mengantar makanan ke kantor. Aku merasa kurang enak badan. Kau bisa memesan makanan untuk makan siang. Aku mencintaimu.
Jimin dibuat tersenyum setelah membaca pesan yang dikirim oleh istrinya. Keina selalu saja berhasil membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Bahkan hanya dengan sebuah pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Hal tersebut membuat Jimin ingin sekali cepat pulang untuk segera bertemu dengan sang istri. Memberikan sebuah dekapan hangat yang menenangkan untuk istrinya.
Tak lupa Jimin mengetik sebuah pesan jawaban untuk dikirimkan pada istrinya. Menyuruhnya untuk lebih banyak beristirahat dan tak lupa meminum susu khusus Ibu hamil yang Jimin belikan.
"Maaf aku mengabaikanmu. Aku rasa kita bisa makan di luar. Istriku baru saja mengirim pesan padaku jika dia tidak bisa mengantarkan makan siang. Apa kau tidak keberatan jika menemaniku makan siang di luar?"
Jinae tersenyum tatkala Jimin mengatakan hal seperti itu padanya. Di dalam hati ia bersorak gembira, ia memang ingin sekali mendekati sang atasan yang berwajah tampan tersebut. Namun agaknya begitu sulit baginya karena perilaku Jimin yang begitu dingin. Jimin sangat sulit ditebak, kadang Pria itu bisa berlaku begitu hangat, tutur kata yang begitu lembut, dan jangan lupakan senyuman manis yang biasanya terukir dari belah bibir Park Jimin. Perempuan mana yang tidak tertarik dengan Pria tampan seperti Park Jimin. Hanya saja, Jinae merasa kalau sang atasan kurang beruntung karena mendapatkan istri seperti istrinya sekarang ini. Wajah istrinya terlihat sekali sangat datar, bahkan ekspresi galaknya tidak dapat ditutupi sedikit saja. Belum lagi tatapan mata tajamnya, benar-benar sangat menakutkan. Gaya pakaian yang terlampau sederhana, begitupula dengan penampilannya. Jimin sangat tidak cocok jika bersanding dengan Perempuan seperti itu. Pria tampan, mapan dan juga terlampau sexy seperti Park Jimin harusnya bersanding dengan Perempuan yang cantik dan juga sexy. Bukan seperti istrinya yang sekarang ini, terlampau biasa di mata Jinae.
"Tentu saja saya tidak keberatan sama sekali. Justru saya merasa sangat senang, Sajangnim." ucap Jinae sembari tersenyum begitu lembut.
Jimin mengangguk, "Baiklah kalau begitu. Kau suka makanan apa?" tanya Jimin.
Sial. Park Jimin benar-benar idaman.
Jinae dibuat mengumpat di dalam hatinya saat ini. Jimin benar-benar Pria idaman sekali. Bahkan dia yang berstatus sebagai atasan masih bertanya perihal makanan apa yang dirinya suka.
"Kenapa bertanya kepada saya? Saya akan menurut kemanapun Anda pergi. Makanan apapun saya suka." jawab Jinae.
Jimin mengangguk, "Begitu, ya? Bagaimana dengan seafood? Apa kau tidak keberatan jika menu makan siang kita kali ini adalah seafood?"
Jinae mengangguk, "Tidak, Sajangnim."
"Baiklah kalau begitu, sebelum kita berangkat ke Restaurant. Aku minta tolong benarkan dulu dasiku yang sedikit melenceng dari tempatnya."
Jinae menang banyak hari ini. Andai setiap hari dirinya bisa sedekat ini dengan Park Jimin, kemungkinan saja Pria tampan tersebut dapat berpaling kepadanya. Jiwa-jiwa pelakor sudah bergejolak di dalam hatinya saat baru saja mengetahui jika pewaris tunggal dari perusahaan keluarga Park ini sangatlah tampan dan juga begitu rupawan. Tidak akan sulit baginya hanya untuk menyingkirkan Perempuan seperti Keina, Perempuan itu terlampau biasa untuknya.
"Iya, Sajangnim."
Hwang Jinae melangkahkan kakinya guna mendekat kearah Jimin yang masih setia duduk di kursi kebesarannya. Jika dilihat dari jarak dekat seperti sekarang ini wajah Jimin terlihat semakin tampan, semakin ditatap wajahnya akan terlihat sangat manis. Hati Jinae dibuat menjerit di dalam sana.
Tangan Jinae dengan pelan terulur untuk membenarkan dasi Jimin yang sedikit melenceng dari tempatnya. Membuka simpul dasi tersebut, lalu dengan begitu perlahan menyimpulkan ulang dasi tersebut.
"Sekretaris Hwang."
Jinae terdiam untuk sesaat dengan manik yang kini menatap lekat pada mata abu Park Jimin. Keadaan keduanya sangatlah dekat, bisa dikatakan hampir saja menempel jika Jimin tidak sedikit memundurkan dirinya kebelakang guna memberi sedikit jarak di antara keduanya.
"Ada apa, Sajangnim?"
"Aku rasa jarak kita tadi terlalu dekat."
"Kalau dari jarak jauh mana bisa saya menyimpulkan ulang dasi Anda. Sajangnim ini lucu sekali."
🐣🐣🐣🐣
Jinae merasa begitu bahagia tatkala berjalan berdampingan dengan sang atasan. Jimin benar-benar Pria yang sangat lembut. Keduanya mengobrol banyak hal saat di mobil tadi. Di mata Jinae Pria bermarga Park tersebut benar-benar Pria idaman.
"Lumayan rame ya."
Jinae mengangguk, "Maklum saja. Ini jam makan siang." ucap Jinae pada sang atasan, matanya menatap pada penjuru Restaurant, mencoba mencari meja yang saat ini kosong, "Sajangnim. Meja nomor empat belas terlihat kosong." lanjut Jinae tanpa sadar menggenggam pergelangan tangan Jimin dengan begitu erat. Membuat Pria bermarga Park tersebut sedikit tersentak karena perlakuan tiba-tiba yang dilakukan oleh sang sekretaris padanya.
"Maaf Sekretaris Hwang. Bisa lepaskan genggaman tanganmu." ucap Jimin.
Dengan cepat Jinae melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan sang atasan, wajahnya sontak memerah karena merasa sangat malu. Ia memang spontan melakukan hal seperti itu. Jimin menolaknya mentah-mentah, rupanya Pria tampan ini memang agak sulit untuk di dapatkan. Tapi Jinae tidak akan menyerah. Tak peduli jika Jimin sudah beristri sekalipun, Jinae akan tetap maju, pantang untuk mundur meskipun istrinya begitu galak sekalipun.
"Maaf, Sajangnim. Saya tidak sengaja."
"Tidak masalah."
Jimin berjalan mendahului Jinae. Membuat Perempuan itu merasa kesal luar biasa karena kini merasa di abaikan. Jimin benar-benar Pria yang sangat sulit untuk di tebak. Tadi Pria itu begitu baik padanya, mengumbar senyuman semanis madu. Tapi saat ini, wajahnya kembali datar dan perlakuannya begitu dingin.
Tak ada yang menyadari jika sedari tadi ada seseorang yang memperhatikan keduanya bahkan saat baru saja masuk ke dalam Restaurant.
"Kenapa Perempuan itu menggenggam tangan Park Jimin. Kalau Keina tahu dia bisa marah besar."