Manik indah Keina menatap pada jam yang menggantung di dinding kamarnya. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Namun ia tidak bisa untuk memejamkan matanya barang sejenak saja. Samping ranjangnya kosong, tidak ada Jimin yang biasanya tidur di sampingnya. Kini Pria itu tengah tertidur di sofa dengan keadaan tubuh yang meringkuk. Keina jadi merasa bersalah ketika melihat keadaan sang suami saat ini. Tidur tanpa meringkuk di atas sofa tanpa sebuah selimut tebal yang biasanya membalut tubuh Pria itu. Astaga. Pemandangan seperti ini benar-benar menyayat hatinya. Ia memang sempat kesal karena perbuatan sang suami. Hanya saja, ia merasa tak tega ketika melihat suaminya yang tengah tertidur di atas sofa dengan keadaan meringkuk menahan dingin.
Keina beranjak dari atas ranjang. Ia melangkahkan kakinya pelan untuk mendekat kearah sang suaminya. Jujur saja ia tidak dapat tidur jika tidak ada Jimin disampingnya. Biasanya Pria itu akan mengelus lembut punggungnya. Memberikan rasa nyaman agar dirinya dapat cepat tertidur. Tanpa elusan lembut dari telapak tangan suaminya yang kecil itu nyatanya ia tidak bisa memejamkan matanya barang sedikitpun. Rasanya sangat tidak nyaman berada di atas ranjang seorang sendiri. Karena biasanya selalu ada Jimin yang tertidur di sampingnya.
Tangan Keina terulur, hendak menepuk pelan pipi sang suami guna membangunkan Jimin dari tidurnya. Tapi hal tersebut segera ia urungkan karena merasa tidak tega jika harus membangunkan sang suami dari tidurnya.
Air mata pun kini menetes membasahi pipinya. Hatinya terasa sakit di dalam sana. Ia jadi merasa bersalah kepada Jimin. Harusnya ia tidak bersikap seperti ini pada suaminya. Sampai harus membuat Jimin tidur di atas sofa.
Tanpa Keina sadari air matanya jatuh dan mendarat tepat di atas pipi sang suami. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya untuk menghapus pelan air matanya yang ada di pipi sang suami. Ia mati-matian menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Hatinya terasa tersiksa saat ini. Merasa bersalah pada suaminya ditambah lagi dirinya yang tidak bisa tidur sampai pukul dua dini hari.
Keina merasa frustasi saat ini. Matanya sudah mulai memerah karena menangis dan rasa kantuk yang mulai hadir. Ia ingin tidur tapi tidak bisa. Rasanya sangat tidak nyaman karena tidak ada Jimin yang berada di sampingnya. Hendak membangunkan sang suami tapi merasa tidak tega.
Hiks.. Hiks.. Hiks..
Pada akhirnya isak tangis pun keluar dari belah bibirnya. Padahal ia sudah mati-matian mencoba menahan isak tangisnya agar tidak keluar. Namun dadanya malah terasa begitu sesak ketika ia mencoba untuk menahannya.
Kedua manik Jimin berulang kali mengerjap. Hal pertama kali yang dapat Jimin lihat saat kedua maniknya telah sepenuhnya terbuka adalah wajah sang istri yang kini telah basah dengan air mata. Ia tidak tahu kenapa Keina bisa menangis seperti ini. Apa ia melakukan sebuah kesalahan lagi, sampai membuat Perempuan yang dicintainya dengan sepenuh hatinya menjadi seperti ini.
Jimin segera mendudukkan dirinya, "Kau kenapa? Kenapa belum tidur?" tanya Jimin yang tentu saja merasa khawatir akan keadaan sang istri.
"Aku tidak hiks bisa tidur."
Dengan segera membawa tubuh sang istri untuk direngkuhnya, "Kenapa? Apa kau memikirkan banyak hal?"
"Aku merasa bersalah hiks padamu. Aku juga tidak bisa tidur tanpa adanya kau di sampingku."
Jimin melepaskan pelukannya. Lantas melihat jam yang menggantung pada dinding kamarnya. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui jarum jam yang sudah menunjukkan pukul dua lebih.
"Astaga ini sudah pukul dua lebih. Tapi kau belum juga tidur." ucap Jimin sembari mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata di pipi sang istri menggunakan ibu jarinya.