Park Jimin sedang berkutat dengan beberapa berkas yang ada di atas meja kerjanya. Sedari tadi ia begitu fokus, hingga tanpa sadar ada mata yang sedari tadi mengamati gerak-geriknya, memandang Jimin dengan tatapan yang begitu memuja. Siapa lagi jika bukan Jinae, sekretaris pribadi Jimin yang berada di dalam satu ruangan dengannya. Jinae begitu mengagumi sosok sang atasan. Sebelumnya Jinae tidak pernah menemukan sosok Pria seperti Park Jimin. Memiliki sikap yang begitu hangat, senyumannya begitu manis, dan sangat sulit untuk ditebak. Bagaimana Jinae bisa mengangumi sosok yang jelas-jelas telah memiliki istri. Apalagi istri Jimin adalah sosok yang sangat mengerikan. Bagi Jinae keduanya berbanding terbalik, Jimin yang sangat hangat, dan Keina yang begitu kasar.
Jimin tersentak tatkala ponselnya yang ia taruh di atas meja kerjanya tiba-tiba saja berbunyi. Siapa gerangan yang berani menghubunginya di jam kerja begini.
Lantas dengan cepat Jimin mengambil ponselnya. Ada sebuah senyuman yang terpatri pada belah bibirnya tatkala mendapati nama sang istri tertera pada layar ponselnya. Tidak biasanya Keina menghubunginya di jam kerja seperti ini.
"Ada apa, sayang?" tanya Jimin setelah telepon berhasil tersambung.
"Aku merindukanmu. Kau tidak pernah membangunkanku saat hendak berangkat ke kantor. Aku baru saja bangun."
Jimin tertawa kecil saat mendengar suara rengekan sang istri dari seberang sana. Hanya karena merasa rindu Keina lantas menghubunginya di jam kerja seperti sekarang ini. Tidak. Jimin sama sekali tidak merasa terganggu. Ia justru merasa sangat senang mendengar suara sang istri meskipun hanya lewat sambungan telepon. Katakanlah ini sangat berlebihan, tapi nyatanya suara dari seberang sana mampu membangkitkan semangatnya untuk bekerja.
Jimin menatap jam yang menggantung pada dinding ruang kerjanya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh siang. Dan sang istri mengatakan jika dirinya baru saja bangun tidur. Tidak. Jimin sama sekali tidak marah karena mengetahui hal tersebut. Setidaknya ia paham semenjak hamil sang istri seringkali tidur larut malam, Keina seringkali mengeluh susah tidur dan berujung tidur di atas jam dua belas malam. Jika sudah begitu di pagi harinya ia jelas tidak akan berani membangunkan sang istri. Ia merasa kasihan, Jimin juga tak ingin sang istri merasa kelelahan.
"Kau menghubungiku hanya untuk mengatakan jika kau merindukanku? Kalau aku tidak merindukanmu bagaimana?" tanya Jimin mencoba menggoda sang istri. Ia yakin jika Keina pasti akan merasa kesal sebentar lagi. Sudah dibilang jika membuat Keina kesal adalah kegemarannya.
"Jadi kau tidak merindukanku? Apa karena sekarang aku gendut, jadi kau tidak mencintai aku lagi?"
Jimin tidak tahu jika akan berakhir seperti ini. Dalam hati ia hanya ingin menggoda sang istri. Namun, Keina malah berpikiran macam-macam kepada dirinya. Jimin sama sekali tidak mempermasalahkan perihal berat badan sang istri yang kini bertambah. Meskipun nantinya badan sang istri akan menjadi sebesar beruang kutub pun Jimin sama sekali tidak merasa keberatan.
"Kenapa kau manis sekali saat hamil begini? Aku selalu mencintaimu, Keina. Meskipun kau gendut seperti beruang kutub karena sedang mengandung buah hatiku." ucap Jimin sembari terkekeh, ia yakin saat ini sang istri sedang menahan kesal karena dikatai beruang kutub. Jika saja Jimin ada didekatnya sudah dipastikan pukulan sayang mendarat di lengannya.
"Yakk. Aku tidak segendut itu. Lagipula aku sedang mengandung Anakmu. Awas saja kau berani berpaling hanya karena tubuhku nantinya akan semakin gendut."
Jimin tertawa kecil tatkala mendengar ocehan sang istri dari seberang sana. Keina selalu saja berhasil membuat dirinya merasakan sebuah kebahagiaan. Istrinya yang bawel, istrinya yang bar-bar, dan istrinya yang galak namun berhasil membuat Jimin jatuh cinta.
"Aku tidak akan berpaling darimu. Kau adalah Perempuan paling cantik didalam hatiku, meskipun nantinya kau akan sebesar beruang kutub."
Keina memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Jimin yakin kali ini sang istri tengah marah karena ucapannya.
Menghela napas kasar, lalu Jimin meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Ia menatap sekilas kearah Jinae yang kini juga tengah menatapnya. Pandangan keduanya untuk sesaat bertemu sebelum akhirnya Jimin kembali memfokuskan pandangannya pada beberapa berkas yang berada di atas meja.
🐸🐸🐸🐸
Sona adalah tipe gadis yang memiliki gengsi tinggi. Ia lebih suka memendam perasaannya ketimbang mengungkapkannya secara langsung. Sepertinya sampai saat ini ia belum bisa berdamai dengan hatinya. Ia seringkali memungkiri perasaannya sendiri. Ia masih merasa bingung dengan hatinya, apa benar ia mulai menaruh hati pada Min Yoongi. Saat berada di dekat Pria berkulit pucat tersebut entah kenapa ia merasa sangat nyaman. Namun terkadang ada rasa debar-debar dalam dada yang ia rasakan. Sona jelas tahu itu perasaan apa karena dulu ia sempat merasakannya saat masih menjalin kasih dengan Kim Seokjin.
"Kau sedang memikirkan apa? Jangan bilang kau sedang memikirkanku."
Seketika itu juga lamunan Sona buyar. Sebuah senyuman tipis yang tadinya terukir dari belah bibirnya pun sirna. Digantikan dengan raut wajah luar biasa kesal karena ucapan yang keluar dari belah bibir Min Yoongi. Kenapa Pria itu bisa tahu jika saja ia sedang memikirkannya. Sona kan jadi malu.
"Kenapa kau percaya diri sekali. Untuk apa aku memikirkan Pria sepertimu." ucap Sona ketus. Lidah bisa berkata, namun hati tak sejalan. Lidahnya mengatakan seperti itu, namun hatinya berkata lain lagi.
"Aku ini tampan. Bisa saja kau mulai mencintaiku." ucap Yoongi sembari mengulurkan tangannya untuk mengambil semangkuk ice cream yang berada di atas meja. Sudah cukup lama ia mendiamkan ice cream tersebut sampai pada akhirnya ice cream tersebut mencair.
Sona mengernyit, "Apa? Kau tampan? Coba saja berkaca. Kulitmu sangat putih tidak seperti manusia." ucap Sona.
Yoongi menghela napas kasar, tak akan ada habisnya jika ia berdebat dengan Sona. Apalagi di situasi seperti ini. Keduanya sedang berada di sebuah kedai ice cream yang sedang ramai pengunjung. Ia tak ingin jadi pusat perhatian karena perdebatannya dengan Sona. Meskipun berdebat dengan Sona adalah hal yang menyenangkan untuknya. Tapi ia masih punya rasa malu untuk melakukannya di tempat umum.
"Kalau sudah selesai ayo pulang. Ice cream ku sudah mencair, aku jadi tidak selera." ucap Yoongi.
"Siapa suruh kau mendiami ice cream nya sejak tadi. Seharusnya kau langsung memakannya." ketus Sona.
"Terserah aku mau memakan ice cream nya sekarang atau nanti." ucap Yoongi merasa tak terima. Ia menatap dua mangkuk kosong yang berada di depan Sona, gadis itu telah menghabiskan dua mangkuk ice cream sekaligus, "Lagipula kau ini seorang Perempuan. Setidaknya kau peduli dengan berat badanmu." lanjut Yoongi.
"Memangnya kenapa? Sampai sekarang tubuhku ideal." ucap Sona sembari tersenyum bangga. Merasa jika tubuhnya sudah sangat indah, meskipun bagi Min Yoongi tubuh gadis itu terlalu kurus, padahal Sona banyak sekali makan. Kemana larinya makanan yang selama ini Sona makan.
"Tidak akan ada habisnya berdebat denganmu."
"Kau yang memulainya duluan. Dasar Pria berkulit pucat."
Yoongi merasa tidak terima. Ingin sekali ia menerkam Sona detik ini juga, tapi ia sadar jika keduanya masih berada di tempat umum. Akan dipastikan Sona tidak akan baik-baik saja setelah keduanya sampai apartemen nanti. Mulut jahat gadis itu harus diberi pelajaran agar tidak selalu berkata kurang ajar.
![](https://img.wattpad.com/cover/263165450-288-k397292.jpg)