"Akhirnya kita bisa jalan-jalan berdua." pekik Keina merasa sangat senang karena pada akhirnya Jimin dapat meluangkan waktunya untuk mengajaknya jalan-jalan. Pasalnya ia merasa sangat bosan jika terus menerus berada di dalam rumah mewah ini. Biasanya ia hanya akan menghabiskan waktu untuk memberi makan ikan, merendam kakinya di air kolam, bertukar pesan dengan kedua sahabatnya. Hanya saja yang dapat ia lakukan selama di dalam rumah. Jimin melarangnya untuk pergi tanpa dirinya.
Jimin tersenyum tatkala melihat sang istri yang saat ini terlihat begitu bahagia. Membuat sang istri bahagia tidaklah sulit. Keina adalah Perempuan yang sangat sederhana, menerima apa adanya. Bahkan semenjak menikah, tak pernah sedikitpun Keina meminta barang-barang mahal padanya. Penampilan Perempuan itu sampai sekarang masih terlihat begitu sederhana. Bagi Jimin apapun yang Keina pakai, Perempuan itu akan selalu terlihat cantik dimatanya. Memang benar jika cinta itu buta, hal tersebut memang sempat Jimin rasakan. Setiap hari ia menjumpai wajah Keina yang baru saja bangun tidur. Surai yang terlihat acak-acakan, wajah pucat Keina yang tak terbalut make-up sedikitpun. Tapi dimata Jimin istrinya tetap yang paling cantik. Tidak ada Perempuan diluar sana yang secantik istrinya. Hanya Keina yang ada di dalam hatinya. Cintanya pada Keina sangat berlebihan, hingga menjadikannya Pria yang begitu posesif.
"Cepat ganti bajumu. Setelah itu kita akan pergi jalan-jalan."
Keina mengangguk, "Aku mau ice cream. Aku mau ramyeon. Aku mau ikan bakar. Dan aku juga mau nasi goreng kimchi."
Mulut Jimin sedikit terbuka dengan tidak elitnya. Merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang istri. Ia menyadari jika porsi makan Keina naik drastis semenjak hamil. Apalagi ketika usia kandungannya yang semakin bertambah. Tapi apa tidak berlebihan dengan menyebutkan makanan sebanyak itu? Apa istrinya akan menghabiskan makanan tersebut seorang diri.
"Apa kau bisa menghabiskannya? Tubuhmu sudah sangat gendut, Keina."
Jimin segera menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya tatkala menyadari apa yang baru saja dikatakannya. Ia yakin sebentar lagi Keina akan marah besar kepadanya karena mengatakan hal seperti itu.
Keina menatap nyalang pada sang suami. Terlihat sekali Jimin sedang mengibarkan bendera perang dengan mengatakan dirinya semakin gendut. Keina tidak suka dikatai seperti itu. Bagaimanapun keadaan dirinya saat ini, itu karena kini dia sedang mengandung bayi dari Park Jimin. Seharusnya Pria itu menghargainya, bukan malah mengatakan dirinya semakin gendut. Telinganya sangat sensitif jika ada seseorang yang mengatai dirinya bertambah gendut.
"Aku gendut, ya? Sudah tidak sexy lagi? Maklum lima hari dalam seminggu kau selalu melihat tubuh sexy sekretarismu saat di kantor." ucap Keina sembari melipat kedua tangannya di dada.
Jimin mencoba untuk menabahkan hatinya. Tidak ingin terpancing dengan ucapan sang istri yang jelas menyudutkan dirinya. Keina selalu saja membahas tentang sekretarisnya di kantor. Seolah mencurigai dirinya dan sang sekretaris menjalin sebuah hubungan. Padahal melirik saja Jimin tak pernah. Dihatinya hanya ada nama Keina. Di dalam pikirannya hanya akan ada bayang-bayang wajah sang istri.
"Bukan begitu, sayang. Kau gendut semakij terlihat lucu. Mirip seperti--
Jimin memberi jeda pada ucapannya, mencoba berpikir hewan yang sekiranya lucu agar bisa disamakan dengan penampilan sang istri untuk saat ini, "Mirip seperti beruang. Dia besar tapi sangat menggemaskan."
Jika menurut Jimin, Beruang adalah hewan yang sangat lucu. Lain lagi dengan Keina. Ia jelas merasa sangat marah jika harus disamakan dengan hewan yang menurutnya mengerikan tersebut.
Keina menghentakkan kakinya berulang kali, hal tersebut memang sering ia lakukan jika sedang merasa sangat kesal.
"Yakk.. Berhenti menghentakkan kakimu seperti itu. Nanti Anakku akan keluar sebelum waktunya." pekik Jimin sembari menatap tajam pada istrinya.
