Keina dapat melihat raut wajah Jimin yang nampak kesal. Ia jelas tahu jika saja Suaminya masih merasa kesal meskipun keduanya telah memutuskan untuk keluar dari dalam Restaurant. Keina merasa bingung, tak mengerti dengan jalan pikiran seorang Park Jimin. Hanya karena mantan atasannya di kantor dulu memujinya, Jimin jadi bersikap layaknya Anak kecil yang sedang ngambek karena tak dibelikan balon oleh Orang Tuanya.
"Dia hanya memujiku, kenapa kau marah begitu?" tanya Keina.
Jimin terdiam sejenak, mencoba menetralkan emosinya. Jimin sadar jika dirinya adalah Pria yang tak dapat menahan gejolak emosi pada dirinya.
"Dia bukan hanya memujimu, Keina. Tapi dia memandangmu dengan pandangan yang, akh..
Ucapan Jimin sempat terhenti, ia mengusak kasar surainya. Jika mengingat tatapan Pria berkulit pucat itu pada sang Istri, rasanya Jimin ingin sekali memukul Pria itu.
Keina menghela napas lelah, "Sudahlah, Jim. Jangan dibahas lagi. Lupakan apa yang telah terjadi hari ini."
Jimin terdiam dengan raut wajah yang masih sama tak enaknya seperti tadi. Keina sadar jika dalam mode seperti ini sang Suami akan sangat sulit dibujuk. Jika saja Anak kecil mudah dibujuk dengan diberikan sebuah permen, lain halnya dengan Jimin. Pria yang suka sekali bersikap layaknya Anak berusia sepuluh tahun itu tidak akan mempan jika hanya diberi sebuah permen, meskipun dalam jumlah yang banyak sekalipun.
"Aku masih kesal pada mantan atasanmu itu."
Keina terdiam sembari memijat pelipisnya, kepalanya mendadak terasa pening. Menghadapi seorang Park Jimin rasanya persis seperti menghadapi cobaan hidup paling berat. Jimin suka sekali membesar-besarkan masalah, padahal ini hanyalah masalah sepeleh.
"Ayo kembali ke hotel." ajak Keina pada akhirnya. Ini adalah hari terakhir mereka berada di sini. Besok pagi ketiganya akan kembali lagi ke Seoul. Hal itu membuat Keina dapat bernapas lega. Karena ketika liburan terjadi berbagai masalah, dan sudah sangat jelas jika biang dari masalah-masalah tersebut adalah Suaminya.
"Tidak." jawab Jimin ketus.
Pada akhirnya Keina menghela napas berat. Semoga saja Keina diberikan kesabaran yang lebih agar tidak berakhir mencekik leher Suaminya karena merasa sangat kesal. Kelakuan Jimin benar-benar seperti Anak berusia sepuluh tahun.
Keina mengusap kasar wajahnya menggunakan punggung tangan, "Kalau begitu kau mau apa? Tolong berhenti bersikap kekanakan, Park."
Sementara Jimin terdiam untuk sesaat saat menyaksikan sang Istri yang nampak frustasi.
"Kau yakin ingin tahu apa yang aku inginkan?"
Jimin malah balik bertanya dan hal itu semakin membuat Keina dilanda rasa kesal yang luar biasa. Ingin sekali rasanya ia menenggelamkan Jimin ke dasar laut paling dalam, tapi dalam lubuk hati yang terdalam ia masih belum siap menjadi janda muda. Tidak. Ia tidak akan siap menjadi janda. Ia juga tidak akan siap jika harus kembali hidup susah.
Lantas Keina mengangguk, setelahnya berucap, "Memangnya apa yang kau inginkan?" tanya Keina.
Jimin mendekatkan dirinya pada sang Istri. Mencoba mengikis jarak di antara keduanya. Lalu mendekatkan bibir tebalnya pada telinga Keina, membisikan sesuatu yang seketika membuat bulu kuduk Keina merinding. Bisikan Jimin terdengar seperti bisikan setan.
"Aku menginginkanmu berada di bawahku." bisik Jimin.
Keina terdiam untuk sesaat dengan mata yang mengerjap berulang kali.
Plakkkk..
Sebuah pukulan Keina layangkan tepat pada bibir tebal sang Suami. Hal itu sukses membuat Jimin meringis karena merasakan sakit pada bibir tebalnya.
