Keina keluar dari dalam kamar mandi. Maniknya menatap pada sang suami yang kini tengah sibuk bermain dengan ponselnya.
"Jim. Aku mulai merasa nyeri." ucap Keina sembari melangkahkan kakinya untuk mendekat pada sang suami. Saat buang air kecil ia juga merasakan banyak lendir seperti keputihan yang keluar dari kemaluannya dengan jumlah yang cukup banyak. Ia tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Mendengar hal tersebut Jimin segera menaruh ponsel miliknya di atas nakas. Tak peduli lagi dengan game yang sedang ia mainkan. Yang terpenting saat ini adalah sang istri.
"Kau akan melahirkan?" tanya Jimin.
"Sepertinya begitu." jawab Keina yang merasa sangat yakin jika sebentar lagi ia akan melahirkan, "Mungkin ini tanda-tanda pembukaan pertama."
Jimin segera menghampiri sang istri. Hendak menggendong Keina namun dirinya merasa tak kuasa mengingat beban sang istri yang bertambah semenjak mengandung. Bahkan saat ini Keina terlihat lebih besar ketimbang dirinya.
"Kau bisa berjalan, kan?" tanya Jimin.
Keina mengangguk, "Kau pikir aku ini kenapa sampai tidak bisa berjalan?" tanya Keina yang mulai merasa tidak terima dengan apa yang baru saja diucapkan oleh sang suami. Apalagi saat mengetahui Jimin tidak jadi menggendongnya karena tubuhnya yang begitu berat.
Dasar Pria lemah.
Begitu pikir Keina saat ini. Bahkan untuk menggendongnya saja Jimin merasa tidak sanggup. Padahal dia seperti sekarang ini kan juga karena benih Jimin yang tertanam di rahimnya.
"Bukan begitu, sayang. Hanya saja kau bertambah berat."
Tentu saja Keina merasa tidak terima dengan ucapan yang baru saja keluar dari belah bibir sang suami. Dirinya hamil juga karena Jimin yang terlalu bersemangat setelah menikah dengannya. Ia paling tidak suka jika Jimin mengatainya bertambah berat, apalagi jika Pria itu sampai berani mengatainya gendut.
"Aku ini sedang hamil Anakmu. Jangan bicara sembarangan, Park." bentak Keina yang merasa tidak terima. Bahkan disaat seperti ini ia masih sanggup memaki sang suami karena sangking kesalnya.
Jimin menggeleng, "Tidak, sayang." ucap Jimin sembari menggenggam tangan sang istri, "Ayo kita ke rumah sakit."
"Aku masih sanggup berjalan sendiri." ucap Keina sembari memegangi punggungnya, "Punggungku nyeri sekali."
"Kalau begitu ayo kita ke rumah sakit, aku akan memberitahu Appa dan Eomma." ucap Jimin yang mulai merasa panik. Bersyukurnya semua keluarga telah berkumpul saat menjelang proses kelahiran sang buah hati. Ibunya pun sudah berada di rumah sejak tadi siang.
"Aku bisa jalan sendiri." ucap Keina sembari menepis kasar tangan sang suami saat hendak membantunya berjalan. Meskipun terasa nyeri, namun ia masih merasa masih sanggup jika hanya untuk sekedar berjalan saja. Lagipula berada di dekat Jimin dalam situasi seperti ini hanya akan membuat dirinya tersulut emosi. Pasalnya sang suami teramat berlebihan dalam menanggapi segala hal tantang dirinya.
"Sayang, aku akan membantumu berjalan. Meskipun aku tidak kuat menggendong mu, tapi aku akan membantumu berjalan." ucap Jimin yang tetap saja memaksakan diri untuk membantu sang istri. Padahal Keina sudah merasa sangat risih.
Keina menatap tajam pada sang suami, "Aku bisa jalan sendiri. Jangan membuatku kesal disaat seperti ini."
Jimin merasa tidak habis pikir dengan sang istri. Bahkan disaat seperti ini istrinya masih dapat memarahi dirinya. Padahal niatnya sebagai seorang suami yang mencintai sang istri dengan segenap hatinya itu sangat baik. Hanya ingin membantu sang istri, pasalnya jika disuruh menggendong Keina sampai ke lantai bawah ia tidak akan sanggup. Takutnya jika dipaksakan nanti dirinya akan mengalami patah tulang diusia yang masih sangat muda.