Keina membuka pelan pintu kamar, hal pertama yang dapat ia lihat saat pintu kamar baru saja terbuka adalah presensi sang suami yang sedang berbaring di atas ranjang dengan sebuah ponsel di tangannya. Jimin beralih memunggungi sang istri saat melihat Keina melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Keina sadar jika saja kini Jimin benar-benar marah padanya. Semalam ia sempat tak membalas pesan yang Jimin kirim untuknya. Pria itu berulang kali menghubunginya, jelas itu membuat Keina merasa risih karena ia dan kedua sahabatnya sedang menghabiskan waktu untuk menonton drama favorit mereka.
"Jim, aku sudah pulang." ucap Keina sembari melangkahkan kakinya mendekat kearah ranjang. Ia mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Namun Jimin tak menghiraukannya, Pria itu masih asyik bermain dengan ponselnya. Menganggap Keina seolah tak ada.
"Kau tak pulang juga tak apa." jawab Jimin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
Keina terdiam untuk sesaat, ia memikirkan cara bagaimana untuk meminta maaf pada sang suami tanpa adanya perdebatan. Ia sangat tahu sikap keras kepala Jimin. Jika sudah dalam mode seperti ini suaminya akan sangat sulit untuk dibujuk.
"Aku minta maaf. Jangan marah padaku ya. Aku kan hanya menginap di rumah sahabatku. Kita tidak melakukan hal yang aneh-aneh kok, hanya menonton drama." jelas Keina pada sang suami, berharap Jimin mau mengerti atas penjelasan yang telah ia berikan. Padahal kemarin Jimin memberikan izin padanya untuk menginap di apartemen Chan Yun. Tapi kenapa sekarang Jimin marah padanya.
Tak ada jawaban yang keluar dari belah bibir Jimin. Ia terlampau kesal pada sang istri. Ia sudah berbaik hati memberikan izin untuk sang istri menginap di apartemen Chan Yun. Yang paling membuat Jimin kesal adalah Keina tak membalas pesan darinya, padahal sampai larut malam ia terjaga hanya untuk menunggu pesan balasan dari sang istri. Keina benar-benar tidak mengerti sedikitpun akan perasaannya. Jimin susah tidur jika tidak ada Keina berada di sampingnya. Biasanya istrinya akan terbaring di sampingnya, tapi semalam ia harus tidur sendirian. Hanya dengan ditemani sebuah guling di sampingnya. Jika biasanya ia akan memeluk Keina saat tengah malam karena merasa kedinginan, semalam ia harus memeluk guling.
Keina masih setia duduk di samping sang suami yang sedang terbaring dengan memainkan ponselnya. Meskipun Jimin sama sekali tak menganggap keberadaannya saat ini, tapi Keina masih setia menunggu jawaban yang keluar dari belah bibir Jimin.
Untuk sekian menit suasana di kamar begitu hening. Tak biasanya hal seperti ini terjadi, karena biasanya kedua pasangan yang tak pernah akur ini akan berdebat. Jimin yang seringkali menggoda sang istri, dan Keina yang merasa tak terima karena perbuatan kurang ajar suaminya.
"Jimin." cicit Keina. Ia menatap pada sang suami yang kini masih fokus menatap layar ponselnya. Keina tahu jika saat ini Jimin sedang bermain game di ponselnya.
"Apa?" tanya Jimin tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponselnya.
"Mianhe." ucap Keina begitu lirih. Sangat lirih hingga nyaris tak terdengar. Ucapannya seperti tercekat di tenggorokan. Ia merasa sangat bersalah pada Jimin. Pria itu hanya terlampau mencintainya, sampai akhirnya seperti ini.
Jimin menaruh ponselnya di atas nakas. Ia menatap pada sang istri yang saat ini tengah menunduk sembari memainkan ujung dressnya. Hal seperti ini sangat jarang Jimin lihat. Jarang sekali Keina akan merasa bersalah terhadap dirinya. Biasanya Perempuan itu akan melawannya terus.
"Apa sangat sulit bagimu hanya untuk membalas pesan dariku?" tanya Jimin.
Keina masih dalam keadaan tertunduk, matanya mulai berkaca-kaca "Tidak. Aku hanya sedang asyik menonton drama." jawab Keina.
Jimin mengangguk, "Drama lebih penting, ya?"
"Tidak, bukan begitu. Aku mohon jangan seperti ini."
"Aku hanya kecewa. Ini hari terakhir aku libur. Besok aku akan kembali bekerja. Kau malah memilih menginap di rumah temanmu." ucap Jimin sembari menatap jam yang menggantung pada dinding kamar, "Kau bahkan pulang pukul sebelas siang." lanjut Jimin.
"Aku bangun paling siang. Sona sudah pulang sejak pukul tujuh pagi karena dia harus pergi ke butik milik Mertuanya. Chan Yun tidak berani membangunkanku, dia takut aku kelelahan karena sedang hamil. Jadi dia membiarkan aku istirahat yang cukup." jelas Keina panjang lebar namun Jimin masih saja setia dengan raut datarnya. Kini Keina semakin yakin jika sang suami benar-benar marah padanya.
"Semalam sebelum tidur kau minum susu Ibu hamil, tidak?" tanya Jimin.
Keina menggeleng, "Tidak. Aku lupa membawanya. Jadi aku tidak minum susunya."
Jimin segera beranjak dari atas ranjang, "Kalau begitu tunggu sini. Akan aku buatkan susu untukmu." ucap Jimin pada sang istri.
"Kau tidak marah lagi padaku?"
Jimin menggeleng, "Aku tidak marah padamu. Kau saja yang berlebihan."
"Kau mengujiku tadi?" tanya Keina.
"Menguji bagaimana maksudmu?"
"Membuatku merasa sangat bersalah agar aku meminta maaf kepadamu."
"Untuk apa aku melakukan hal semacam itu. Kau sendiri yang merasa bersalah karena semalam meninggalkan suamimu sendirian di kamar hanya dengan ditemani guling di sampingnya. Istri macam apa kau ini, Park Keina?"
Keina beranjak dari ranjang, kemudian mencium bibir sang suami sekilas, "Sudah sana buatkan aku susu untuk Ibu hamil. Dasar suami cerewet kau ini."
"Lagi. Berikan aku satu ciuman lagi disini." ucap Jimin sembari menunjuk bibirnya sendiri.
Keina menggeleng, "Tidak. Kau bau. Pasti belum mandi, kan?"
"Enak saja. Aku sudah mandi sejak pukul tujuh pagi."
Keina terkekeh, "Aku yang belum mandi sebenarnya. Tadi buru-buru karena bangun kesiangan takut kau akan marah. Jadi aku tidak sempat mandi."
"Pantas saja kau bau sekali."
"Aku tadi sudah memakai parfum. Sini aku cium lagi, Jim. Aku rindu bibir tebalmu." ucap Keina.
Keina sudah melangkahkan kakinya untuk maju dua langkah, guna semakin mendekatkan dirinya pada sang suami. Namun Jimin malah melangkah mundur untuk menjauhi sang istri.
"Kau bau sekali. Sana mandi, jangan jorok."
"Cium dulu. Sekali saja."
"Tidak."
"Satu kali saja." rengek Keina.
Jimin tak mungkin menolak, dan tak akan pernah dapat menolak keinginan sang istri. Lihat saja wajah Keina yang begitu menggemaskan saat ini. Membuat Jimin ingin sekali menghajar istrinya sampai malam. Tapi hal itu ia urungkan mengingat sang istri sedang hamil buah hatinya.
"Tutup matamu."
"Langsung cium saja apa susahnya. Banyak sekali peraturannya." ucap Keina merasa sangat kesal. Ia tahu jika saat ini Jimin sedang menggodanya.
"Cepat tutup matamu."
Keina berbalik, lalu melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi, "Tidak mau menciumku juga tak apa. Kenapa banyak sekali peraturannya." ucap Keina.
Brakk..
Jimin tersentak saat mendengar suara pintu kamar mandi yang di tutup secara kasar oleh sang istri.