Mata Keina berulang kali mengerjap, sebelum akhirnya manik indah itu terbuka sepenuhnya. Ia menatap pada Pria yang kini tengah tertidur tepat disebelahnya. Suaminya tidur dengan sangat pulas. Wajah Jimin terlihat semakin manis tatkala sedang tertidur. Berbeda sekali ketika Pria berjari pendek itu terbangun. Jimin akan bersikap begitu menyebalkan. Keina lebih suka melihat wajah sang suami yang terlihat begitu manis ketika tertidur, tidak ada raut menyebalkan sama sekali yang terlihat. Keina dapat menemukan kedamaian di sana.
Keina mengalihkan atensi pada jam yang menggantung pada dinding kamarnya. Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Dan dirinya bangun karena merasa haus. Ia menatap pada gelas kosong yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Sungguh ia merasa sangat malas jika harus turun ke lantai bawah hanya untuk sekedar mengambil air minum.
Berniat ingin membangunkan suaminya, tapi ada rasa kasihan yang saat melihat Jimin yang kini tengah tertidur dengan begitu pulas.
Kini Keina bingung sendiri, hendak membangunkan Jimin tapi merasa tidak tega. Tapi ia sendiri juga merasa takut jika harus mengambil air minum ke dapur seorang diri. Karena ia tahu jika di atas pukul sembilan malam ruang tamu dan dapur akan dimatikan lampunya.
Akhirnya dengan berat hati Keina menepuk pelan pipi sang suami. Begitu pelan, takut jika Jimin akan marah jika ia menepuknya dengan sangat keras. Pria itu sangat sensitif sekarang. Ia masih mengingat kejadian saat dirinya membangunkan Jimin dengan cara menyiram segelas air pada wajah suaminya. Karena hal itu Jimin bisa sampai marah besar padanya. Padahal niatnya sangat baik, yaitu membangunkan suaminya agar tidak terlambat masuk kantor.
"Apa sih?" tanya Jimin dengan manik yang masih terpejam. Merasa sangat terusik ketika tangan istrinya berulang kali menepuk pipinya.
"Aku haus. Air minumnya habis."
Jimin tidak menghiraukan sama sekali. Ia malah menyingkirkan tangan sang istri dari pipinya. Lalu semakin mengeratkan selimut tebalnya.
Helaan napas berat keluar dari belah bibir Keina. Kini ia merasa kesal sendiri dengan sikap acuh Jimin padanya. Bagaimana bisa Pria itu mengabaikan istrinya yang sedang kehausan seperti sekarang ini. Jimin pernah bilang padanya jika ia akan menjadi suami yang siap siaga ketika istrinya sedang hamil. Nyatanya hanya untuk dimintai tolong mengantar ke dapur saja Pria itu malah acuh.
"Jim, aku haus. Antar aku ke dapur. Aku takut sendirian." ucap Keina kembali mengulurkan tangannya untuk menepuk pelan pipi sang suami.
Manik Jimin masih terpejam dengan sangat erat, mengabaikan sang istri yang berulang kali menepuk pipinya.
Keina terdiam, cukup lama. Mencoba untuk berpikir bagaimana cara membangunkan suaminya tanpa harus membuat Jimin marah besar padanya.
Sebuah senyuman terpatri pada belah bibirnya tatkala kapasitas otaknya yang sangat kecil itu berhasil menemukan ide yang bagus untuk membangunkan sang suami. Lantas tanpa berpikir panjang lagi ia segera mendekatkan wajahnya pada wajah sang suami. Lalu menempelkan bibirnya pada bibir Jimin, hanya memberikan sebuah kecupan singkat. Namun cara tersebut masih saja tidak bisa membuat suaminya terbangun. Pada akhirnya karena sangking kesalnya, Keina menggigit bibir tebal Jimin. Hal tersebut sukses membuat manik Jimin terbuka sepenuhnya. Sebenarnya saat Keina mengecup bibirnya ia dapat merasakannya dengan jelas. Hanya saja ia memang tidak ingin membuka matanya karena ingin menikmati bagaimana sesuatu yang manis dan basah itu menempel pada bibirnya. Tapi ia merasa kaget luar biasa tatkala Keina yang tiba-tiba saja menggigit bibirnya dengan tidak manusiawi.
"Kenapa kau menggigit bibirku? Sakit sekali asal kau tahu." ucap Jimin sembari mendudukkan dirinya. Ia memegangi bibirnya yang terasa sakit karena baru saja mendapat gigitan tidak manusiawi dari sang istri.