Jimin baru saja keluar dari kamar mandi. Maniknya menatap pada jam yang menggantung di dinding, kini waktu menunjukkan pukul dua setengah dua belas malam. Itu tandanya ia baru tertidur selama dua jam dan harus terbangun karena ingin buang air kecil. Jujur saja semenjak memiliki seorang bayi waktu istirahatnya menjadi berkurang. Belum lagi jika Jimmy menangis, sebagai seorang Ayah yang begitu mencintai anaknya dengan sepenuh hati ia harus siap siaga.
Dengan langkah pelan Jimin berjalan kearah box bayi yang berada di samping ranjang. Ia memandang wajah damai sang Putera yang kini tengah tertidur dengan begitu nyenyak. Ia selalu saja dibuat gemas dengan wajah menggemaskan sang Putera.
Tangan Jimin terulur untuk mengelus pipi sang Putera dengan begitu pelan. Rasanya ia selalu ingin berada di dekat bayinya setiap saat. Ingin selalu melihat wajahnya yang begitu menggemaskan sama seperti dirinya.
Seketika suara tangisan sang Putera membuat Jimin tersentak. Ia takut jika saja tangisan sang Putera membangunkan istrinya yang baru saja dapat memejamkan matanya. Ia merasa kasihan karena jam tidur Keina juga harus berkurang semenjak kelahiran sang Anak.
Jimin segera membawa sang Putera ke dalam gendongannya. Mencoba menenangkan Puteranya, berharap Jimmy dapat dengan cepat berhenti menangis agar suara tangisannya tidak mengganggu tidur istrinya.
Kedua manik Keina mengerjap ketika rungunya mendengar suara tangisan sang Putera yang begitu keras.
"Kau apakan anakku?" tanya Keina sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.
"Aku tadi hanya mengelus pipinya, tapi dia terbangun."
Dan benar saja dugaan Keina bahwa tersangka utama yang membuat bayinya menangis adalah Jimin. Suaminya memang tidak bisa membiarkan Puteranya tenang barang sejenak saja. Padahal ia sudah sangat mengantuk dan ingin beristirahat. Namun karena Jimin ia harus kembali terbangun karena tangisan sang Putera yang begitu keras.
Keina segera bangkit dari atas ranjang. Dengan mata yang menatap tajam pada sang suami ia segera mengambil Puteranya dari gendongan sang suami. Merasa sangat kesal karena kelakuan Jimin yang tidak bisa mendiamkan Puteranya barang sejenak saja. Ada saja kelakuan suaminya seperti mengelus lembut pipi sang Putera, mencubit pelan pipinya karena merasa sangat gemas, memberikan kecupan pada bibir Puteranya saat tengah tertidur. Rasanya Keina ingin sekali membuang Jimin ke dasar laut terdalam karena kelakuannya yang begitu meresahkan itu. Namun ia masih belum siap menjadi seorang janda beranak satu.
"Sudah kubilang jika dia sedang tidur biarkan dia tidur, jangan kau ganggu dia. Aku ini sangat lelah." ucap Keina sembari menatap tajam pada suaminya.
"Aku hanya mengelus pipinya tadi. Aku kaj gemas dengan anakku sendiri." ucap Jimin.
Rasanya Keina ingin menangis saja karena kelakuan suaminya yang begitu menyebalkan. Pasalnya ia merasa sangat lelah. Ia baru bisa memejamkan matanya sejenak saja tapi karena ulah suaminya sang Putera jadi terbangun.
"Aku ini sangat lelah."
"Aku juga lelah."
Dengan membawa sang Putera yang masih menangis di dalam gendongannya, Keina melangkahkan kakinya kearah ranjang. Ia naik keatas ranjang bersama dengan sang Putera yang berada di dalam gendongannya.
"Kau susui dia, nanti pasti akan berhenti menangis."
"Kalau kau merasa tidak bisa membuatnya diam jangan membuatnya menangis." ucap Keina sembari menarik bajunya keatas guna menyusui sang Putera.
"Sudah kubilang aku merasa sangat gemas."
"Aku juga merasa gemas denganmu, rasanya ingin aku benturkan kepalamu ke tembok." ucap Keina yang sudah merasa sangat kesal.