Jimin membuka pintu kamarnya, ia stagnan saat melihat kini di atas ranjangnya tengah ada sang istri dan juga sahabatnya yang sedang tertidur dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Maniknya beralih menatap pada sang sepupu yang kini juga terlihat tengah tertidur di sofa.
"Apa mereka pikir kamarku tempat pengungsian untuk tidur?" monolog Jimin sembari menatap kearah Chan Yun dan suaminya secara bergantian.
Melangkahkan kakinya masuk, Jimin mendekat kearah box bayi yang berada tak jauh dari ranjang tempat tidurnya. Ia terkejut saat melihat keadaan box bayi yang tengah kosong. Tidak ada bayi manisnya di dalam sana. Sedangkan kini sang istri tengah tertidur tanpa mau peduli dengan bayinya.
Mengetahui sang bayi tidak ada di dalam box bayi. Lantas Jimin melangkahkan kakinya untuk mendekat kearah ranjang. Ia menepuk pipi sang istri untuk membangunkannya dari tidurnya.
Merasakan tepukan yang cukup keras pada pipi kirinya pun akhirnya membuat Keina terbangun dari tidurnya. Padahal ia baru saja bisa memejamkan matanya barang sejenak saja. Ternyata menjadi seorang Ibu bukanlah hal yang mudah. Setiap harinya ia menghabiskan semua waktunya untuk mengurus sang bayi. Sedangkan Jimin bisanya hanya menyalahkan dirinya saja.
"Apa?" tanya Keina dengan menatap nyalang pada sang suami yang kini tengah berdiri di samping ranjang. Berharap dengan kelakuan Jimin tidak membuat sahabatnya bangun dari tidur nyenyak nya. Pasalnya Keina merasa kasihan juga dengan Chan Yun, sahabatnya pasti butuh istirahat yang cukup sebab kini tengah mengandung.
"Dimana Jimmy?" tanya Jimin sembari menunjuk box bayi yang dalam keadaan kosong.
Keina mengernyit, "Memangnya dimana dia?"
Keina segera beranjak dari atas ranjang, melangkahkan kakinya untuk mendekat kearah box bayi. Namun tak menemukan sang anak berada di dalam box bayi.
"Kau ini tidak becus sekali." ucap Jimin.
"Pasti dia sedang bersama Eomma. Kau saja yang terlalu berlebihan." ucap Keina.
"Apa dia sudah mandi?" tanya Jimin.
"Sudah, tadi Bibi yang memandikan."
"Harusnya kau belajar memandikannya. Itu anak kita asal kau tahu, sampai kapan Bibi terus yang memandikannya."
Keina mendengus kesal, "Dia masih sangat kecil. Aku tidak bisa memandikan anak sekecil itu. Biarkan saja untuk sementara Bibi yang memandikannya."
"Tapi kau ini Ibunya." ucap Jimin.
Keina menatap tajam pada sang suami yang kini tengah berdiri di hadapannya, "Kau juga Ayahnya, tapi tidak bisa memandikannya."
"Aku kan harus bekerja, tugas memandikan anak kan tugasmu."
Park Jimin teramat posesif pada sang Putera. Bahkan ia tidak mengizinkan sembarang orang menyentuh bayinya. Ia teramat menyayangi buah hatinya, hingga memperlakukannya sedemikian rupa.
"Kau pikir mengurus anak itu gampang. Bisanya kan kau hanya menyalahkan ku saja." ucap Keina yang mulai tersulut emosi.
"Jaga bicaramu, Keina. Itu adalah anak kita. Aku tidak menyalahkan mu, hanya saja aku mengajarimu menjadi Ibu yang baik agar tidak seenaknya saja."
"Mulutmu itu yang seenaknya saja kalau bicara."
Karena nada suara keduanya yang mulai tak terkontrol, pun akhirnya Chan Yun terbangun dari tidurnya. Ia menatap kearah dua manusia yang kini tengah berdiri di samping box bayi. Ia yakin jika kini Keina dan suaminya sedang berdebat.
Chan Yun jadi merasa bersalah karena tidak menghiraukan ucapan dari suaminya. Seharusnya memang ia dan suami pulang dari tadi, sebelum Jimin sampai di rumah. Namun ia tak dapat menahan rasa kantuknya dan pada akhirnya sang suami menyuruhnya untuk tidur dulu bersama dengan sang sahabat.