Kontainer Gelap

59 10 2
                                    

Kini Eva mendapati dirinya berada didalam sebuah kontainer truk. Tanpa ada satupun penerangan membuat keadaan didalam sana sangat gelap.

Beberapa sinar rembulan berhasil menembus lubang-lubang di badan kontainer. Lubang itu membentuk lingkaran sempurna dan tersusun secara berderet.

Eva melihat sekitar dan mendapati tidak ada apapun di dalam kontainer tersebut. Gadis itu hanya dapat merasakan debu serta karat yang ada didalam kontainer.

"Arto? Kamu dimana?"

Keadaan yang gelap gulita membuat gadis tersebut tidak memiliki pilihan selain memanggil temannya, Arto.

"Arto? Mengapa kamu meninggalkan aku sendirian? Aku takut."

Suara aneh kemudian terdengar. Itu adalah suara seseorang yang tengah membuka pintu besi kontainer. Dari balik sela-sela pintu, cahaya biru bersinar.

"Arto?"

Pintu kontainer terbuka pada salah satu sisinya. Itu adalah Arto. Bak sebuah senter, kedua mata robot tersebut mampu memberikan sorotan cahaya berwarna biru.

"Eva, kamu sudah bangun?" Sapa robot tersebut.

"Mengapa kamu meninggalkan aku, Arto?"

"Kamu terlihat kedinginan, maka dari itu aku mencari sebuah selimut." Balas Arto sembari menunjukkan sebuah selimut yang berhasil ia temukan.

Kontainer itu adalah tempat mereka berdua beristirahat untuk malam kali ini. Arto memang sengaja melubangi beberapa bagian kontainer dengan pelurunya agar udara dapat masuk.

Robot tersebut juga sengaja tidak membuat sebuah api unggun karena asap yang dihasilkan akan terperangkap didalam sana. Hal tersebut tentunya akan membawa malapetaka bagi Eva.

"Apakah aku tertidur cukup lama?" Tanya Eva.

"Iya. Tujuh jam lima puluh enam menit."

"Maaf sudah menyusahkan dirimu."

Robot tersebut menutup kembali pintu kontainer, namun berbeda dengan sebelumnya kini seisi kontainer dipenuhi warna biru yang menenangkan.

Arto memberikan selimut yang tadi ia temukan. Selimut berwarna merah dengan bahan kain yang lembut. Beberapa bagian dari selimut itu memang nampak kotor namun itu bukan masalah besar selagi masih layak untuk digunakan.

Pakaian yang Eva kenakan begitu tipis. Gadis ini harus segera menemukan pakaian baru yang lebih menghangatkan diri. Apalagi beberapa minggu kedepan akan memasuki musim dingin.

"Terimakasih Arto, ini hangat."

Arto duduk berhadapan dengan Eva. Robot tersebut hendak mengisi ulang kembali bahan bakarnya, meskipun sekitar lima belas menit yang lalu ia sudah mengisinya.

Selama mencari selimut, Arto setidaknya sudah menghabiskan sepuluh tabung bahan bakar. Kerusakan yang tabung bahan bakarnya alami benar-benar menjadi penghambat dirinya. Namun tetap ia tidak ingin Eva mengetahuinya.

Suara-suara aneh mulai terdengar dari seluruh penjuru kota. White face telah muncul kembali. Mahkluk-mahkluk itu hanya keluar ketika matahari telah terbenam.

"Arto?" Panggil Eva dengan pelan.

Gadis tersebut kembali teringat dengan kejadian beberapa hari lalu yang merenggut nyawa ibunya. Mahkluk-mahkluk mutasi itu sungguh menanamkan trauma bagi gadis tersebut.

Raungan serta bunyi cakar yang berderik terdengar begitu dekat. Para White face berada cukup dekat dengan kontainer, tempat Eva dan Arto bersembunyi.

"Arto, aku takut."

"Eva, aku rasa kamu memerlukan benda ini. Tadi dia tak sengaja terjatuh." Ujar Arto sembari mengeluarkan boneka beruang kesayangan Eva.

"Tuan Teddy?!" Balas Eva dengan terkejut.

"Benar! Tuan Teddy disini. Kamu tidak perlu menakutkan apapun."

Arto menggerakkan kedua tangan boneka tersebut seolah-olah boneka beruang tersebut hidup dan berbicara dengan Eva.

Tack..

...!!!

"ARTO!!" Jerit Eva yang ketakutan.

Salah satu White face terdengar benar-benar dekat dengan kontainer. Suara cakar yang terseret menggores jalan menumbuhkan rasa takut pada gadis tersebut.

Eva bersembunyi di balik selimut yang ia pakai. Membungkus dirinya rapat-rapat.

Namun hal tersebut adalah hal yang sia-sia. Rasa takut gadis tersebut telah menyebar ke udara. Bahkan para White face mulai mencoum keberadaan gadis tersebut.

Beberapa White face melompat ke atas kontainer, menciptakan suara keras yang mengejutkan. Beberapa White face yang lain berjalan mengitari kontainer.

"..."

Na.. Na.. Na.. ~♪
Na.. Na.. Na.. ~♪
Na.. Na.. Na.. ~♪

Arto mulai melantunkan sebuah gumaman sederhana. Robot tersebut meninggikan volume untuk setiap akhiran sehingga terdengar seperti sebuah nyanyian yang bernada, meskipun selebihnya ia ucapkan dengan nada datar.

"Arto?" Eva yang penasaran dengan apa yang robot itu lakukan mulai membuka wajahnya dari balutan selimut.

Na.. Na.. Na.. ~♪
Na.. Na.. Na.. ~♪
Na.. Na.. Na.. ~♪

"Arto, bolehkah aku tidur disebelah dirimu untuk malam ini?"

Robot tersebut lantas mengangguk tanda setuju. Kemudian Eva segera menghampiri tempat Arto dan duduk disebelah robot tersebut.

"Apakah kamu masih takut, Eva?"

"Sedikit."

Gadis tersebut mulai memejamkan kedua matanya dan mulai tersenyum.

"Lagu ciptaanmu lucu. Daripada takut, aku lebih ingin tertawa." Lanjut Eva.

"Begitu, ya?"

Arto memang tidak memiliki niat untuk bernyanyi seperti yang manusia lakukan. Robot tersebut hanya mengulangi beberapa kata dan menambahkan penekanan pada akhirannya saja.

Namun setidaknya hal itu mampu mengusir rasa takut yang gadis itu miliki. Untuk saat ini tak ada yang perlu untuk dikhawatirkan. Suara para White face juga sudah mulai berangsur-angsur menghilang.

"Tapi Arto, ketika aku ketakutan seseorang juga menyanyikan lagu seperti itu untuk diriku." Ujar gadis tersebut sembari tetap memejamkan matanya.

Kepala gadis tersebut mulai kehilangan keseimbangan dan berakhir bersandar pada lengan Arto.

"Terima kasih, Arto karena sudah mau menjadi temanku."



GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang