Coklat

34 8 0
                                    

"Arto, berikan tas ransel itu." Ujar gadis itu, memecah keheningan yang ada.

Angin berhembus kuat. Masuk dari jendela gedung yang sudah pecah hingga sampai ke dalam. Membuat siapapun yang tinggal merasakan hawa dingin yang menusuk.

Beberapa lilin padam akibat hembusan angin. Beberapa lilin yang lain tumbang. Membuat tempat itu semakin gelap dari waktu ke waktu.

Beruntungnya api unggun yang dinyalakan di dalam tong masih menyala. Selain memberikan penerangan, tong itu juga menjadi satu-satunya tempat untuk menghangatkan diri.

Arto sebagai sebuah robot tidak memerlukan kedua hal itu. Baik penerangan ataupun rasa hangat tidak menjadi penghambat dirinya. RRobot tidak perlu itu.

Gadis itu mencoba mengangkat tas ransel tersebut. Namun ia sama sekali tidak mampu untuk melakukannya.

Usaha kedua gadis itu lakukan. Kali ini Eva mencoba menyeret tas tersebut. Akan tetapi hasil yang sama juga didapatkan Eva. Tas itu tidak berubah posisi.

"Kamu sedang apa, Eva?" Tanya Arto yang tidak mengerti akan tindakan gadis itu.

"Diam Arto! Aku sedang berusaha mem-buk-tikan!" Ujar gadis itu sembari tetap berusaha menyeret tasnya, "Kalau a-aku bi-sa membawa tas ini!"

Brakkk...!!!

Gadis itu terjatuh akibat kelelahan. Semua tenaga sudah Eva kerahkan, namun ia tidak dapat mengangkat tas itu. Tas itu terlalu berat bagi Eva. Tas itu penuh akan barang-barang sehingga sangat berat.

"A-Aduh!"

"Eva! Kamu tidak apa-apa?"

"Sakit sih." Balas gadis itu cepat, "Tapi tidak sesakit kedua lututku."

Kruyuk... Kruyuk...

"Benar!" Teriak gadis itu tiba-tiba, "Aku sangat lapar sehingga tidak memiliki tenaga." Lanjut gadis itu sembari mengusap-usap perutnya.

Eva lantas membuka tas ransel tersebut. Merogoh kantong bagian depan dari tas itu. Sesekali gadis itu mengintip ke dalam kantong untuk mencari letak barang yang ia inginkan.

"Ketemu!" Ujar Eva sembari mengangkat sebuah benda tinggi-tinggi. Benda yang gadis itu cari adalah sebuah batangan coklat.

"Ter-Tersisa dua saja?" Ekspresi senang Eva menghilang secara drastis.

Tidak ingin terlalu lama berpikir, Eva segera membuka satu bungkus coklat itu dan memakannya. Gadis itu memakannya dengan sangat lahap hingga tersisa bungkusnya saja.

Kini tertinggal satu bungkus coklat lagi. Gadis itu sangat ingin memakannya, namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat Arto.

"A-Arto, apakah kamu mau coklat?" Tanya gadis itu sembari menyodorkan bungkusan coklat.

Arto yang mendengar ucapan Eva segera beranjak dari tempat ia duduk. Robot itu berjalan menghampiri gadis itu berada.

"Tu-Tunggu dulu!" Kata gadis itu sembari menyembunyikan bungkusan coklat di punggungnya, "Aku hanya bercanda."

"Ka-Kamu tidak akan mengambil coklat ini dan memakannya, bukan?" Lanjut gadis itu sembari mundur menjauhi Arto, "Ro-Robot tidak makan coklat! Hanya Eva yang makan coklat! Arto jangan makan coklat ku! Aku cuman bercanda tadi!"

Eva sangat ingin makan coklat terakhir itu. Ia masih sangat lapar. Namun sudah terlambat, tangan Arto mulai meraih dirinya.

"Ja-Jangan ambil coklat ku! A-Aku cuman bercan-!? Ehh?"

Alih-alih mengambil coklat yang Eva tawarkan tadi, tangan Arto mengusap bekas coklat yang ada di sisi bibir Eva.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya gadis itu.

"Mulutmu kotor karena bekas coklat. Aku membersihkannya." Balas Arto.

"Ja-Jadi kamu tidak akan mengambil coklat ku, bukan?"

"Tidak." Arto kembali duduk bersila, "Lagipula kamu sudah tahu kalau aku tidak dapat makan makanan seperti itu."

Huft... Huft...

"Dasar Arto! Aku pikir aku akan kehilangan coklat ini!"

Komputer Arto tiba-tiba mendeteksi suara. Seperti suara napas yang terengah-engah. Hal itu membuat Arto waspada. Apapun itu, di neraka ini semuanya dapat menjadi musuh.

Huft... Huft...

"Aku sudah tahu kalau robot tidak makan coklat, tapi tidak kusangka kamu mempermainkan hal ini."

"Eva, tenang."

"Kamu harusnya minta maaf kepadaku, Arto. Karena aku sangat khawatir bakaln kehilangan co-"

Suara kokangan senapan Arto menghentikan Eva. Gadis itu sadar bahwa ada sesuatu yang membuat Arto waspada.

Huft... Huft...

Kini suara itu terdengar. Semakin jelas dan jelas. Langkah kaki yang tak menentu juga terdengar menggema di lantai gedung.

"A-Arto?"

Dari balik kegelapan sebuah bayangan muncul. Diikuti dengan napas yang tidak teratur serta rintihan kesakitan.

"Siapapun itu, keluarlah!"

Mata Arto tidak melepaskan bidikannya. Begitu pula dengan jari telunjuknya yang sudah siap di pelatuknya.

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang