Sesuatu di Tambang

11 1 0
                                    

"Jadi...?" Robot itu mencoba menarik ekor perkataan, seolah membuat sebuah unsur penasaran, "Apa yang kamu lakukan disini?"

Robot itu melangkah maju dan masuk lebih dalam di lorong tambang. Dia mengaktifkan kedua lampu sorot yang ada di matanya sembari menunggu jawaban Oleg, kemudian melihat-lihat seisi tambang.

"Bu-Bukankah a-a-aku sudah bilang? Aku me-nunggu yang lain?" Jawab pemuda kurus itu yang tetap berdiri di tempatnya, dan enggan masuk seperti apa yang robot itu lakukan.

Suara mereka berdua merambat dan mengisi seluruh kehampaan tambang. Gema yang dihasilkan juga berhasil membuat air turun bebas dari langit-langit tambang.

"Yang lain? Mereka dimana sekarang?" Tanya robot itu sekali lagi.

Robot itu kemudian tertarik dengan sesuatu yang ada di dekatnya. Itu adalah sebuah kereta tambang yang telah terbalik dan keluar dari jalurnya. Semuanya sudah berantakan disana, dimana debu sudah melapisi semua badan keretanya, dan karat sudah menjadi cat yang menggantikannya.

Arto berlutut dan mengusap sebuah plat nama di atas badan kereta tambang itu. Hal itu membuat debu menyingkir dari plat nama, kemudian dia membacanya.

"Me-mereka bilang... me-mereka mencari emas..." Jawab Oleg.

"Batu bara..." Arto membaca plat nama di atas kereta tambang tadi, yang kemudian memberikan sebuah tanda tanya besar didalam kepalanya, "Orang bodoh mana yang mencari emas di tambang batu bara?"

Komentar robot itu menjadi sesuatu yang menyakitkan untuk didengar oleh telinga pemuda itu. Kalimat seperti merendahkan dan dalam pengucapannya yang tanpa nada apapun, itu hanya menambah aroma pertikaian lagi.

"Ja-jangan bilang para se-seniorku bodoh!" Ujar Oleg dengan sebuah tekanan disana, seolah situasi yang sempat merendam tadi tidak ada artinya.

"Maaf. Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Robot itu berbalik badan, kemudian berkedip untuk mematikan lampu sorot di matanya, sehingga Oleg tidak silau karenanya.

"Lagipula, mengapa kamu tahan diperlakukan seperti itu? Mengapa kamu tidak membangkang saja?" Lanjut robot itu.

Oleg sedikit tertekan atas pertanyaan-pertanyaan robot itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa dan lebih memilih untuk berpura-pura bodoh untuk saat ini, "A-apa yang kamu bicarakan?"

"Kamu tahu apa yang aku bicarakan." Balas robot itu dengan cepat, "Aku melihat sendiri, ketika dalam perjalanan kesini, kamu diperlakukan tidak baik oleh orang-orang itu."

"T-Tunggu!? Ka-kamu mengikuti kami sejak tadi? B-Bagaimana bisa a-aku tidak m-mendengar s-suara mesinmu?!"

"Jangan ubah pembicaraan." Potong robot itu, yang meskipun dia mengatakannya tanpa nada, namun itu sudah terdengar sangat tegas dan mengintimidasi.

Kali ini, situasi yang sudah mereda tadi benar-benar tidak ada artinya. Semenjak robot itu memulai pertanyaan dan komentarnya, semuanya menjadi semua bumbu permasalahan yang semakin kuat tercium.

Oleg melangkah mundur, dan berniat untuk lari dari tempat itu, semenjak dia paling dekat dengan mulut tambang. Namun, langkahnya terhenti disaat ada sesuatu yang ada di pikirannya, "A-aku tidak b-bisa meninggalkan para se-seniorku!"

Arto melangkah maju, seperti sedang menantang kebenaran, "Meskipun mereka memperlakukanmu seperti itu tadi?"

Ingatan pemuda itu terputar kembali pada benaknya. Teringat betul bagaimana orang-orang yang bersamanya tadi memperlakukan dirinya seperti sebuah alat saja. Rasa penat dan sakit di kedua tangannya menjadi bukti bisu bagaimana dia diperlakukan tidak adil.

Namun, Oleg berdiri di ujung mulut tambang dengan kedua mata menyorot tajam, "Ya!" Jawabnya pasti, "M-meskipun mereka s-s-seperti itu, aku t-tidak akan pergi!"

Arto terdiam sejenak dan membaca perkataan pemuda itu dengan cepat. Namun, isi kepalanya yang rasional lebih memilih argumen yang masuk akal, "Tiga orang itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan seluruh warga desa. Kita tidak tahu bahaya apa yang ada didalam sana, dan itu dapat mengancam seluruh Redwood Village!"

Arto melangkah maju sekali lagi dan kini mulai mendekat ke arah mulut tambang, "Segera bom mulut tambang dan tugas kita sele-"

"Tidak!" Potong Oleg segera, "A-aku tidak b-bisa membuat mereka t-terjebak d-d-disini! I-itu sama saja d-dengan pembunuhan!"

"Kamu terlalu bodoh dan naif, nak!"

Oleg jelas terkejut akan komentar robot itu. Satu kalimat penuh yang membuat hatinya seolah tertusuk duri tajam. Itu benar-benar menyakitkan, apalagi perkataan itu keluar dari sesuatu yang bahkan tidak dapat membuka mulut.

"I-ini bukan tentang mereka... I-ini juga b-bukan tentang w-warga desa, namun i-ini tentang aku!" Kata Oleg serak, namun dengan yakin mengutarakannya, "J-Jika aku melakukan A-apa yang kamu bilang, apa b-bedanya aku d-d-dengan para seniorku? S-sama-sama tidak be-perasaan!"

Oleg kemudian melangkah mundur, hingga terhenti disaat sepatu boots yang dia pakai menginjak salju diluar, "Tidak!" Dia menggeleng, "Apa b-bedanya aku dengan kamu! R-robot pembunuh!"

Oleg tertawa singkat ketika mengingat perkataan robot itu, "Naif dan bodoh? Kalimat i-itu tidak pantas ke-luar dari m-mulutmu, s-sesuatu yang h-hanya me-mikirkan l-logika tanpa m-mengerti perasaan manusia!"

Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari keduanya, membuat keheningan segera merambat di lorong tambang itu. Semua suara menjadi sirna, kecuali suara langkah kaki Oleg yang kembali masuk kedalam tambang.

"Ka-kamu tidak pantas aku p-percayai, robot!" Ujar pemuda itu sembari mendorong dada besi robot itu, dengan harapan membuat dia membukakan jalan, "Ka-kamu tetaplah pem-bunuh! Dan s-sampai sekarang, h-hanya itu yang ada di kepala-mu!"

Oleg melangkah masuk lebih dan dalam dan meninggalkan Arto sendirian. Isi kepala robot itu terlalu lambat untuk memproses semua kejadian dan perkataan yang keluar dari pemuda itu.

Dia memang bukanlah manusia dan itu bukanlah salahnya untuk terlahir hanya mengedepankan logika dalam programnya. Itu juga bukan salahnya jika dia tidak memiliki perasaan seperti apa yang manusia rasakan, dan pada akhirnya, dia hanyalah sebuah benda mati ciptaan manusia.

Arto menggelengkan kepala dan membuat suara-suara program di kepalanya berhenti menghantui. Dia menunduk, kemudian mengangkat sedikit alat peledak ciptaan Jessy yang terikat di pinggulnya.

Logika dalam pemrograman di kepalanya berkata bahwa dia harus segera menarik peledak itu, memasangnya dan kembali ke desa. Dengan begitu, semua ancaman bahaya yang ada di dalam kegelapan tambang tidak akan pernah keluar, meskipun itu berarti empat orang harus menghilang selamanya.

Namun, dia segera teringat kembali dengan ucapan pemuda tadi, dan pemutaran ingatan itu berhenti pada perkataan bahwa robot tidak memiliki sebuah perasaan. Segera, robot itu berhenti memegang peledaknya dan menoleh ke dalam kegelapan tambang, seolah tersadar akan sesuatu.

[Peringatan!]
[Ancaman terdeteksi.]

Dan mimpi buruk dari kegelapan tambang akan segera terealisasi.







GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang