Gadis dan Bunga

38 6 0
                                    

Seseorang di belakang telah berhenti menutupi mata Arto. Hal tersebut memberikan ruang bagi robot itu untuk berdiri, kemudian berbalik badan guna menemukan jawabannya.

Dugaan robot itu sesuai yang dia harapkan. Eva berdiri disana, tepat didepan Arto dengan senyuman yang melekat diwajahnya.

Kedua mata mereka saling bertemu untuk waktu yang lama. Mereka berdua bahkan enggan untuk mengedipkan mata guna mengurangi momen yang terbuang percuma.

Mata biru robot itu berkilau bak sebuah berlian, begitupun dengan mata biru Eva yang indah seperti angkasa. Dua keindahan itulah yang menjadi persamaan mereka berdua.

Arto hendak memecah keheningan yang terus menerus menghantui, "Apakah kamu bai-"

Arto belum sempat mengakhirinya, karena dia telah mendapati Eva memeluknya. Gadis itu berada di salah satu kaki Arto dan terus memeganginya. Dia membenamkan wajahnya disana karena enggan membiarkan robot itu tahu bahwa dirinya menangis.

"A-Aku ki-kira kita tidak akan bertemu lagi!" Ucap gadis itu sembari tetap memeluk kaki robot itu.

Arto tahu bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menenangkan gadis itu kembali, setidaknya ini adalah hal yang sering dia lakukan ketika bersama Eva. Siapa yang akan menyangka bahwa robot pembunuh seperti dirinya, kini telah beralih tugas.

Arto menggunakan tangan yang bebas tugas untuk mengusap rambut gadis itu. Pada awalnya, robot itu nampak ragu untuk menyentuh gadis itu lagi. Dia menyadari bahwa tangan yang akan dia gunakan untuk menenangkan Eva telah mencabut ribuan nyawa ketika perang masih berkecamuk.

Akan tetapi, Arto berhenti untuk memikirkan semua hal itu. Dia bukan lagi robot perang seperti dahulu kala. Dia bukan lagi mesin tempur yang hanya mengetahui tentang kekerasan. Dia bahkan telah berjanji pada dirinya sendiri supaya dia menjadi Arto seutuhnya dan melupakan masa lalunya.

Robot itu mengusap rambut Eva dengan lembut dan penuh kasih sayang. Meskipun tangan robot itu terbuat dari besi yang dingin, hal itu justru terasa hangat dan memenangkan bagi gadis itu.

"Tidak apa-apa, Eva. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Ujar robot itu dengan perlahan.

Robot itu kemudian berlutut dengan menekuk salah satu kakinya, sehingga tinggi mereka berdua sama. Robot itu terdiam sejenak ketika mengetahui bahwa Eva telah berusaha menyembunyikan air matanya.

"Apa yang membuatmu bersedih, Eva?" Tanya robot itu sembari mengusap pipi Eva menggunakan jari besinya.

Gadis itu mencoba berbicara, namun tangisannya terus menghambat, "A-Aku datang setiap h-hari ke rumah Kak Jess, namun seti-p kali aku menge-tuk pintu, dia datang dengan gelengan kepala."

Eva memberikan jeda sejenak untuk menarik napas dan mengatur tempo berbicaranya, "Pada dua h-hari terakhir, aku su-dah putus asa akan dirimu. A-Aku memutuskan untuk du-duk di batu se-panjang hari. Namun, hari ini a-aku melihatmu di sini."

Arto meluangkan waktu sejenak untuk menoleh ke arah batu, tempat tadi dia duduk, "Bukankah ini sebuah kebetulan kita memilih batu yang sama?" Ujarnya.

Eva mendengus ketika mendengar balasan temannya itu. Batinnya terasa sedikit tergelitik oleh ucapan Arto. Namun hal itu tidak bertahan lama, karena air mata tetap menetes tanpa sepengetahuannya.

"Shhh..." Desis Arto mencoba menenangkan, "Aku punya sesuatu untuk aku tunjukkan padamu." Lanjutnya.

Eva segera terpancing oleh ucapan robot itu, "A-Apa itu?" Tanya Eva penasaran.

Arto menunjukkan bunga kuning yang sedari tadi dia genggam. Kedua mata Eva nampak berbinar ketika bunga itu berada di hadapannya.

"B-Bunga yang can-tik, Arto." Balas gadis itu mengomentari, "Darimana kamu mendapatkannya?" Tanyanya.

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang