Rasa Sakit

39 9 0
                                    

Mereka memilih sebuah bangunan kosong sebagai tempat bermalam. Itu adalah gedung pusat perbelanjaan yang telah di tinggalkan.

Bangunan itu benar-benar luas dan memiliki empat lantai. Tanpa adanya listrik dan penerangan, membuat bangunan itu diliputi kegelapan ketika malam datang.

Lantai pertama dari bangunan itu nampak kosong. Barang-barang yang biasanya di pajang di sepanjang lantai sudah habis tak tersisa. Membuat lantai pertama dari bangunan itu hanya terdiri dari pilar-pilar penyangga.

Semua toko yang berada di lantai pertama juga sudah tertutup rapat. Adapun beberapa darinya terbuka, namun semua barang yang ada sudah dijarah habis.

Arto mengambil sesuatu dari tas ransel. Itu adalah batangan lilin. Penerangan yang dapat memberikan rasa aman dari gelapnya bangunan itu.

Tentu lilin itu tidak dapat membuat seluruh lantai terang. Namun setidaknya daerah tempat mereka akan istirahat akan terang.

Lilin-lilin itu disusun secara melingkar. Membuat sebuah daerah yang dikelilingi oleh cahaya lilin. Namun diluar daerah itu, kegelapan masih menguasai.

Arto juga menemukan sebuah tong yang kosong. Robot itu berniat untuk membuat api unggun didalam tong itu.

Lantas ia menaruh daun-daun kering serta ranting yang sempat ia pungut kedalam tong tersebut. Lalu ia membakar semuanya menggunakan pematik api yang berasal dari tas ranselnya.

"Ahh... Hangatnya." Eva berdiri sembari mengulurkan tangannya ke arah tong yang terbakar.

"Eva kemari, aku akan mengobati luka dilututmu."

"Tidak! Itu akan perih!" Balas Eva menolak. "Bukannya lebih baik kita menyimpannya untuk hari yang lain? Luka ini tidak terlalu parah, tahu!"

"Lukamu dapat terinfeksi apabila tidak segera dibersihkan." Arto mengeluarkan beberapa perban serta obat luka luar. "Lagipula persedian obat di tas ini masih banyak."

Gadis itu menggeleng tanda tidak setuju. Eva kemudian memutar ke sisi sebelah tong untuk sedikit menjauh dari Arto.

"Aku tidak mau diobati! Perih!"

Arto kemudian mengambil boneka beruang gadis tersebut. Kedua tangan boneka itu Arto gerakan, seolah-olah boneka tersebut bergerak.

"Tapi aku bilang luka itu perlu diobati!" Kata Arto sembari menggerakkan tangan boneka milik Eva.

"Tuan Teddy? Sejak kapan kamu setuju dengan Arto?"

"Benar! Tuan Teddy bilang kamu harus segera mengobati lututmu itu."

"Akh... Ba-Baiklah kalau Tuan Teddy yang bilang."

Akhirnya Eva duduk di depan Arto. Menelan semua rasa sakit yang akan gadis itu rasakan, ia memejamkan matanya.

Dengan perlahan Arto menuangkan obat luka di kedua lutut gadis itu. Mata gadis itu terpejam lebih rapat daripada sebelumnya. Terlihat jelas bahwa ia benar-benar menahan rasa perih yang ada.

Waktu terasa sangat lama bagi gadis itu. Eva hanya ingin segera menarik kakinya kembali cepat-cepat dan tidak melanjutkan pengobatannya.

Gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah punggung besi Arto. Punggung robot itu penuh akan bekas lecet dan baret akibat bergesekan dengan aspal jalanan.

Arto yang berbalik badan guna mengambil perban mendengar Eva berbisik pelan, "Apakah itu sakit?"

Arto kembali membalik badannya. Kini dengan beberapa perban ditangan robot itu.

"Tidak, robot tidak pernah merasakan sakit."

"Pasti beruntung menjadi sepertimu. Tidak pernah merasakan rasa sakit."

Arto segera melapisi luka di lutut Eva dengan balutan perban. Robot itu melakukannya dengan begitu lembut dan cekatan.

"Tidak juga." Balas Arto menolak apa yang gadis itu katakan, "Aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya rasa sakit itu."

"Kamu aneh Arto! Semua orang tidak ingin merasakan rasa itu, tahu."

"Bagi diriku yang tercipta tanpa mengenal rasa sakit, sangat ingin sesekali merasakan perihnya luka." Balas Arto sembari membalut kedua lutut Eva.

"Rasa itu seperti rasa yang sakit sekali!" Ucap gadis itu mencoba menjelaskan, "Kalau aku punya luka di punggung sepertimu, aku akan menangis seumur hidupku!"

Sebuah pita lucu menutup balutan perban tersebut. Membuat balutan itu tidak seperti perban luka pada umumnya. Eva yang melihat itu nampak terkejut dengan pita yang ada di perbannya.

"Wah, cantiknya. Tidak kusangka kamu bisa membuat hal semacam ini, Arto." Ujar Eva kagum, "Tapi ini masih perih, tahu." Lanjut ucap gadis itu dengan segera memasang muka masam.

Ekspresi wajahnya berubah dengan cepat!

Manusia memang hebat!








GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang